Kamis, 27 Januari 2011 17:02
JAYAPURA- Elemen Pergerakan Perjuangan Papua- EKNAS Front PEPERA Papua Barat melalui juru bicaranya Selpius Bobi menyatakan dengan tegas soal perekrutan anggota MRP yang tengah berlangsung di beberapa Daerah di Papua, seperti yang terjadi di Biak, menunjukkan polemic antara masyarakat dengan Pemerintah, pun sebaliknya polemik MRP menjadi konflik horizontal, antara masyarakat sendiri. Eknas Fron PEPERA melalui Press Releasenya menegaskan, “ Semua pihak yang tergiur dengan perekrutan anggota MRP dan dikagetkan oleh Surat Mendagri tertanggal 13 Januari 2011 tentang klarifikasi peraturan Daerah Khusus ( PERDASUS) provinsi Papua serta Perdasus No. 4 tentang pemilihan anggota MRP yang disahkan oleh DPRP itu sesungguhnya tak berjalan mulus, buktinya melalui SK Mendagri, Gubernur Provinsi Papua diperintahkan untuk diklarifikasi.
Menurut Fron PEPERA, ada hal krusial yang termuat dalam SK Mendagri yang dinilai menyimpang dan semakin membuat proses Pemilihan MRP dianggap menghancurkan jati diri Orang Asli Papua, Isi SK tersebut adalah merubah Perdasus menjadi Perdasi, berikut lembaga MRP kini menjadi dua yang pertama berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Papua dengan beranggotakan 42 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama. Yang kedua berkedudukan di Ibu Kota Povinsi Papua Barat dengan beranggotakan 33 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama sebanyak 11 orang, selain itu isi SK Mendagri menyatakan juga bahwa menjadi anggota MRP selain orang asli Papua, juga termasuk orang non Papua yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.
Terurai lebih lanjut bahwa, yang jadi anggota MRP ialah orang yang tidak pernah terlibat dalam tindakan pidana maKar terhadap NKRI dan berumur 30 hingga 60 Tahun, perpendidikan minimal SD untuk wakil Adat dan SMP untuk wakil Perempuan dan Agama. Untu menjadi anggota MRP tidak mendapat mandate atau rekomendasi dari Masyarakat Adat, Perempuan dan Agama, calon anggota MRP tidak dipilih masyarakt diperuntukkan bagi orang asli Papua, tetapi calon MRP diseleksi oleh Paitia Perekrutan MRP yang dibentuk oleh Pemerintah dengan bekerjasama dengan dengan Pemerintah, sedangkan PNS yang menjadi anggota MRP, melepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya.
SK Mendagri yang megklarifikasi Sembilan hal Pokok tersebut, oleh Elemen Perjuangan Fron PEPERA dianggap sebuah paket Politik semata, termasuk anaknya MRP, namun Negara Indonesia dianggap terus menerus melakukan berbagai manufer Politik untk mempertahankan Otsus Papua, dimana Undang undang Otsus yang dianggap kekhususan yang diberikan Jakarta, namun sesungguhnya kekhususan itu diberikan dalam rangka mempertahankan penindasan di Tanah Papua Barat.
Selpius menyatakan, dalam Undang undang Otsus dinyatakan MRP dibentuk dalam rangka memperjuangkan hak hak dasar orang asli Papua, namun dalam penerapannya MRP tidak memberikan kewenangan khusus untuk melakukan proteksi dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dalam SK Mendagri yang tersirat Perdasus diubah menjadi Perdasi, menunjukkan secara jelas Pemerintah Pusat sendiri telah menghancurkan lembaga Khusus bagi orang asli Papua yang dibentuk oleh Negara Indonesia. Diterangkan lebih lanjut, Pemerintah Pusat sedang merancang Tanah Papua dimekarkan menjadi beberapa Provinsi, dan bila diwaktu mendatang terjadi pemekaran Provinsi di Papua, misalnya Papua dimekarkan jadi lima Provinsi, maka masing masing Provinsi akan membentuk lembaga Khusus MRP. Akan parah bila MRP makin banyak di Tanah Papua, hal yang jelas menerangkan itu adalah kekhususan makin hilang, makna tugas dan tanggung jawabnyapun hilang.
Ia menilai dengan pembentukan MRP ditiap Provinsi diPapua jelas bertujuan menghancurkan keutuhan dan Kebersamaan dengan memecah belah ideology Papua, jati diri dan Budaya asli Orang Papua yang muaranya memperpanjang penindasan serta mempertahankan Keutuhan NKRI.
Yang melecehkan lagi, dalam SK Mendagri Pemerintah dianggap membuka peluang penghancuran orang Asli Papua dengan memberikan kesempatan bagi orang asli Papua perwakilan adat minimal berijasah SD dan SLTP diberikan peluang untuk menjadi anggota MRP, ini merupakan pembodohan dan penghinaan bagi orang asli Papua dan tujuan Pemerintah jelas, bahwa anggota MRP yang berijasah SD dan SMP yang duduk dalam MRP dapat dikendalikan oleh kaki tangan Indonesia yang memiliki kapasitas intelektual yang akan duduk di MRP, jika demikian maka lembaga Khusus ini tak akan melahirkan suatu kebijakan yang melindungi hak hak dasar orang asli Papua, tetapi justru lembaga ini akan mengamankan kepentingan Jakarta.
Hadirnya SK Mendagri dianggap telah mencabut kewenangan lembaga lembaga adat, perempuan dan Agama untuk memberikan memberikan rekomendasi kepada calon anggota MRP, pencabutan kewenangan ini dianggap memberikan peluang seluas luasnya bagi kaki tangan Indonesia untuk mencalonkan diri dalam bursa penyeleksian MRP, dengan demikian tertutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki kapasitas Intelektual dan bermoral yang ada dalam lembaga lembaga adat, Perempuan dan Agama atau non Pemerintah untuk masuk dalam keanggotaan MRP, karena proses menjadi anggota MRP bukan direkomendasikan oleh lembaga non Pemerintah yang dipercaya dan dipilih oleh orang asli Papua, melainkan didaftarkan dengan inisiatif calon MRP sendiri dan diseleksi oleh Pemerintah melalui Panitia yang dibentuk oleh Pemerintah, Ironis memang SK Mendagri itu, “ terang Bobi. ( wp )
JAYAPURA- Elemen Pergerakan Perjuangan Papua- EKNAS Front PEPERA Papua Barat melalui juru bicaranya Selpius Bobi menyatakan dengan tegas soal perekrutan anggota MRP yang tengah berlangsung di beberapa Daerah di Papua, seperti yang terjadi di Biak, menunjukkan polemic antara masyarakat dengan Pemerintah, pun sebaliknya polemik MRP menjadi konflik horizontal, antara masyarakat sendiri. Eknas Fron PEPERA melalui Press Releasenya menegaskan, “ Semua pihak yang tergiur dengan perekrutan anggota MRP dan dikagetkan oleh Surat Mendagri tertanggal 13 Januari 2011 tentang klarifikasi peraturan Daerah Khusus ( PERDASUS) provinsi Papua serta Perdasus No. 4 tentang pemilihan anggota MRP yang disahkan oleh DPRP itu sesungguhnya tak berjalan mulus, buktinya melalui SK Mendagri, Gubernur Provinsi Papua diperintahkan untuk diklarifikasi.
Menurut Fron PEPERA, ada hal krusial yang termuat dalam SK Mendagri yang dinilai menyimpang dan semakin membuat proses Pemilihan MRP dianggap menghancurkan jati diri Orang Asli Papua, Isi SK tersebut adalah merubah Perdasus menjadi Perdasi, berikut lembaga MRP kini menjadi dua yang pertama berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Papua dengan beranggotakan 42 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama. Yang kedua berkedudukan di Ibu Kota Povinsi Papua Barat dengan beranggotakan 33 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama sebanyak 11 orang, selain itu isi SK Mendagri menyatakan juga bahwa menjadi anggota MRP selain orang asli Papua, juga termasuk orang non Papua yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.
Terurai lebih lanjut bahwa, yang jadi anggota MRP ialah orang yang tidak pernah terlibat dalam tindakan pidana maKar terhadap NKRI dan berumur 30 hingga 60 Tahun, perpendidikan minimal SD untuk wakil Adat dan SMP untuk wakil Perempuan dan Agama. Untu menjadi anggota MRP tidak mendapat mandate atau rekomendasi dari Masyarakat Adat, Perempuan dan Agama, calon anggota MRP tidak dipilih masyarakt diperuntukkan bagi orang asli Papua, tetapi calon MRP diseleksi oleh Paitia Perekrutan MRP yang dibentuk oleh Pemerintah dengan bekerjasama dengan dengan Pemerintah, sedangkan PNS yang menjadi anggota MRP, melepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya.
SK Mendagri yang megklarifikasi Sembilan hal Pokok tersebut, oleh Elemen Perjuangan Fron PEPERA dianggap sebuah paket Politik semata, termasuk anaknya MRP, namun Negara Indonesia dianggap terus menerus melakukan berbagai manufer Politik untk mempertahankan Otsus Papua, dimana Undang undang Otsus yang dianggap kekhususan yang diberikan Jakarta, namun sesungguhnya kekhususan itu diberikan dalam rangka mempertahankan penindasan di Tanah Papua Barat.
Selpius menyatakan, dalam Undang undang Otsus dinyatakan MRP dibentuk dalam rangka memperjuangkan hak hak dasar orang asli Papua, namun dalam penerapannya MRP tidak memberikan kewenangan khusus untuk melakukan proteksi dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dalam SK Mendagri yang tersirat Perdasus diubah menjadi Perdasi, menunjukkan secara jelas Pemerintah Pusat sendiri telah menghancurkan lembaga Khusus bagi orang asli Papua yang dibentuk oleh Negara Indonesia. Diterangkan lebih lanjut, Pemerintah Pusat sedang merancang Tanah Papua dimekarkan menjadi beberapa Provinsi, dan bila diwaktu mendatang terjadi pemekaran Provinsi di Papua, misalnya Papua dimekarkan jadi lima Provinsi, maka masing masing Provinsi akan membentuk lembaga Khusus MRP. Akan parah bila MRP makin banyak di Tanah Papua, hal yang jelas menerangkan itu adalah kekhususan makin hilang, makna tugas dan tanggung jawabnyapun hilang.
Ia menilai dengan pembentukan MRP ditiap Provinsi diPapua jelas bertujuan menghancurkan keutuhan dan Kebersamaan dengan memecah belah ideology Papua, jati diri dan Budaya asli Orang Papua yang muaranya memperpanjang penindasan serta mempertahankan Keutuhan NKRI.
Yang melecehkan lagi, dalam SK Mendagri Pemerintah dianggap membuka peluang penghancuran orang Asli Papua dengan memberikan kesempatan bagi orang asli Papua perwakilan adat minimal berijasah SD dan SLTP diberikan peluang untuk menjadi anggota MRP, ini merupakan pembodohan dan penghinaan bagi orang asli Papua dan tujuan Pemerintah jelas, bahwa anggota MRP yang berijasah SD dan SMP yang duduk dalam MRP dapat dikendalikan oleh kaki tangan Indonesia yang memiliki kapasitas intelektual yang akan duduk di MRP, jika demikian maka lembaga Khusus ini tak akan melahirkan suatu kebijakan yang melindungi hak hak dasar orang asli Papua, tetapi justru lembaga ini akan mengamankan kepentingan Jakarta.
Hadirnya SK Mendagri dianggap telah mencabut kewenangan lembaga lembaga adat, perempuan dan Agama untuk memberikan memberikan rekomendasi kepada calon anggota MRP, pencabutan kewenangan ini dianggap memberikan peluang seluas luasnya bagi kaki tangan Indonesia untuk mencalonkan diri dalam bursa penyeleksian MRP, dengan demikian tertutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki kapasitas Intelektual dan bermoral yang ada dalam lembaga lembaga adat, Perempuan dan Agama atau non Pemerintah untuk masuk dalam keanggotaan MRP, karena proses menjadi anggota MRP bukan direkomendasikan oleh lembaga non Pemerintah yang dipercaya dan dipilih oleh orang asli Papua, melainkan didaftarkan dengan inisiatif calon MRP sendiri dan diseleksi oleh Pemerintah melalui Panitia yang dibentuk oleh Pemerintah, Ironis memang SK Mendagri itu, “ terang Bobi. ( wp )
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!