3.
Pandangan dalam Perjuangan Bangsa Papua
Perjuangan kemerdekaan bangsa
Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu, bukan juga
karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia
beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan
oleh orang Idnonesia dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam kebijakan
pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena
pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar
masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga
sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa
dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang
mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan
juara dalam pemajuan demokrasi.
4.
Pokok-Pokok Sengketa: Dalil-Dalil NKRI
Kita
perlu melihat apa saja yang menjadi tekanan NKRI dalam rangka mengkleim wilayah
West Papua sebagai bagian integral dari wilayah hukum NKRI.
4.1
Dalil Perjanjian Belanda-Indonesia[i]
Perjanjian
Indonesia Belanda itu ada beberapa tahapan:
4.1.1 Konferensi Malino[ii]
Tahun
1946, Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino membahas pembentunan Negara
Indonesia Serikat, yang dihadiri juga oleh utusan West Papua atas nama Mr.
Frans Kaisiepo.
Mr.
Frans Kaisiepo nyatakan kepada Dr. H.J. van Mook dan perwakilan Indonesia bahwa
orang Papua harus diberikan hak untuk berpemerintahan sendiri. Waktu inilah
nama Irian (yang dalam bahasa biak artinya berkabut/baruap, steamy)
diajukan menggantikan nama New Guinea. Konferensi ini tidak mencapai
kesepakatan dalam hal nasib West Papua.
4.1.2 Konferensi Meja
Bundar, Den Haag
Dalam
konferensi ini Indonesia-Belanda telah sepakat tentang status Irian Barat akan
dibahas dalam negosiasi-negosiasi dalam tempo setahun setelah kedaulatan
Indonesia diakui oleh Belanda (tahun 1949). Berarti sejak tahun 1951 sudah
harus ada negosiasi-negosiasi itu. Tetapi karena sampai tahun 1961, Belanda
belum menunjukkan tindakan real dari janjinya, maka Indonesia menggunakan isu
komunisme sebagai senjata ampuh untuk menantang sikap berdiam diri dan delay
tactics yang diterapkannya. Hasil konfrontasi awal 1961 akhirnya memaksa
musuh bebuyutan Blok Timur, AS untuk terpaksa dilibatkan dalam merekayasa
Pepera.
Seperti
dilihat dalam Pasal berikut, Mohammad Hatta yang menjadi Ketua Delegasi
Indonesia waktu itu menolak dengan tegas mempermasalahkan West Papua dengan
alasan West Papua merupakan bangsa yang terpisah dari NKRI. Tetapi akhirnya
ditetapkan bahwa status wilayah itu akan dibahas dalam negosiasi-negosiasi
selanjutnya. Nah, dalam negosiasi-negosiasi selanjutnya itu, Moh. Hatta sudah
tidak dilibatkan lagi, karena sudah mengundurkan diri dari politik kotor
Sukarno.
4.1.3 Ketiga, waktu The
New York Agreement
Indonesia
juga mengkleim bahwa pelaksanaan Pepera 1969 itu sepenuhnya didasarkan atas
Perjanjian New York 1962. The New York Agreement inilah yang menjadi
dalil utama NKRI kemudian untuk mengkleim wilayah West Papua dan menyatakan
sebagai wilayah hukumnya sampai hari ini.
Padahal
sudah jelas bahwa orang Papua tidak terlibat ataupun dikonsultasikan dalam
kesepakatan-kesepakatan, diskusi-diskusi dan tawar-menawar politik antara
Belanda dan Indonesia.
4.1.4 Keempat, The Joint
Rome Statement
Indonesia
juga punya kleim bahwa Belanda-Indonesia juga telah memperkuat sikap dan
persetujuan mereka untuk melaksanakan sepenuhnya Perjanjian New York, dengan
rencana pembangunan selanjutnya sebagaimana yang dicantumkan dalam pernyataan
Roma ini.
Yang
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa setelah kegagalan Konferensi Malino dan
Konferesni Meja Bundar (KMB), AS mulai memainkan perannya dalam deal-deal
selanjutnya. Hasilnya seperti kita akan lihat dalam Pasal berikut bahwa
kepentingan-kepentingan AS juga turut dibahas dan ditetapkan dalam The Rome
Joint Statement maupun The Memorandum of Rome itu.
Lalu
kita bertanya:
· Apakah
ada perwakilan atau orang Papua yang terlibat di sini?
· Kalau
ada, di mana pendapat mereka?
· Kalau
tak ada, apakah ini sebuah keputusan kolonialis, yang tidak tunduk kepada
prinsip demokrasi?
4.2
Dalil Metode Implementasi Pepera
4.2.1 Bahwa prosedur dari
penentuan pendapat akan dikonsultasikan dengan perwakilan rakyat (Irian)
Ada juga
uraian bahwa prosedur dari penentuan pendapat akan dikonsultasikan dengan
perwakilan rakyat (Irian).
Nah,
kalau dikaitkan dengan realitas tindakan di lapangan, maka yang terjadi adalah
intimidasi, indokrinasi dan drilling exercises bagi tokoh-tokoh yang
ditunjuk NKRI untuk berteriak bergabung dengan NKRI. Yang terjadi bukanlah
konsultasi, tetapi pemaksaan, intimidasi dan teror.
· Apakah
ini berbeda dengan proses sosialisasi RUU dan UU Otsus untuk West Papua
sekarang?
· Tahukah
Anda cara Indonesia menunjuk para wakil dimaksud?
· Tahukah
Anda apa yang diucapkan Ali Murtopo dan pasukannya dalam kegiatan drilling
exercises itu?
4.2.2 Bahwa penyediaan
akan partisipasi dalam penentuan pendapat akan sesuai dengan praktek-praktek
internasional
Dan
sebagai kesimpulan dari implementasi ini, walaupun Ortiz Sanz menyatakan bahwa
Pepera dilakukan sesuai dengan cara Indonesia, ternyata Indonesia
mengkleim bahwa cara yang dilakukan Indonesia (musyawarah) sudah diakui oleh
PBB (dunia internasional), maka dengan demikian hal itu sesuai dengan prinsip
praktek-praktek internasional.
Jadi,
Ortiz Sanz tidak mengakui pelaksanaan Pepera sesuai praktek internasional,
tetapi sesuai dengan cara Indonenesia. Maka yang menjadi pertanyaan
adalah:
· Apakah
cara Indonesia itulah yang disebut cara internasional?
· Apakah
cara musyawarah itu harus diakui dulu, baru dirapkan?
· Ataukah
karena hasilnya diakui, maka cara itu, yang telah diterapkan dalam Pepera itu
dianggap diakui dunia internasional?
· Apakah
cara musyawarah itu pernah diakui dalam sebuah resolusi PBB sebagai salah satu
praktek demokrasi dan sebagai cara yang diakui dunia internasional?
4.2.3 Karena prinsip "one
man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian New York dimaksud
Karena
prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian New
York dimaksud, maka terbuka kemungkinan bagi pihak yang terlibat untuk
mengembangkan cara yang tepat bagi pelaksanaan penentuan pendapat dimaksud.
Cara/
metode implementasi Pepera itu sudah sejak lama dipersoalkan bangsa Papua,
karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah
Perjanjian New York dimaksud. Indonesia kemudian merubah cara ini sesuai cara
Indonesia, yaitu permusyawaratan perwakilan, sesuai Sila IV, Pancasila. Alasan
mereka adalah karena The New York Agreement
tidak membutuhkan (menegaskan) implementasi sistem “one man, one
vote” dalam penentuan pendapat ini. Tidak ada rekayasa termasuk di sini dan
tidak ada alasan untuk mencurigai apa yang telah terjadi, dengan alasan hukum
internasional, tidak ada keharusan yang ditetapkan bahwa penentuan pendapat
menerapkan sistem “one man, one vote.” Maka dengan jelas kleim Indonesia adalah
bahwa cara permusyawaratan perwakilan adalah tepat.
4.2.4 Metode ini didasari
atas pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis Irian Barat
yang belum maju
Kleim
Indonesia bahwa perihal pemilihan metode ini didasari atas pertimbangan kondisi
sosial, ekonomi, budaya dan geografis Irian Barat yang belum maju dan sulit
untuk menerapkan prinsip "one man, one vote". Yang mengherankan di
sini, pada tahun 1970, yaitu hanya setehun setelah Pepera, Indonesia berhasil
menyelenggarakan Pemilu dan Pemilu itu diikuti oleh SELURUH RAKYAT PAPUA.
· Apakah
ada mujizat sang ilahi yang menyebabkan Pemilu 1970 tidak ada rintangan sosial,
ekonomi, budaya dan geografis sehingga semua penduduk West Papua bisa ikut
Pemilu NKRI, tetapi sulit mengikut Pepera 1969?
· Bukankah
NKRI yang melaksanakan Pepera, dan NKRI jugalah yang melaksanakan Pemilu dalam
selang waktu beberapa bulan? Kalau begitu mengapa yang satu banyak halangan,
dan yang lainnya berjalan mulus?
· Apakah
PBB menyetujui bahwa alasan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan kondisi
geografis dapat dipakai sebagai dasar untuk merubah praktek-praktek demokrasi
internasional?
4.3
Dalil NKRI bahwa PEPERA sebagai Proses Formal dari Penentuan Nasib Sendiri
4.3.1 Indonesia mengkleim
bahwa The New York Agreement adalah Dasar Hukum yang Resmi untuk
Penentuan Pendapat
Setelah
mengkleim Perjanjian New York sebagai Dasar Hukum Resmi untuk Pepera, kini
Indonesia mengkleim bahwa PEPERA sebagai Proses Formal dari Penentuan Nasib
Sendiri. Itu berarti bahwa keputusan Pepera tidak dapat diganggu-gugat.
Walaupun
wakil rakyat Papua sebagai subyek dari perjanjian ini tidak terlibat, Indonesia
mengkleim bahwa perjanjian antara kedua belah pihak yang bersengketa inilah
yang merupakan dasar resmi untuk Pepera di West Papua.
Indonesia
menjelaskan ada tiga unsur utama Perjanjian itu, yaitu perihal penyerahan tugas
administrasi dari Belanda kepada PBB, penyerahan tugas administrasi dari PBB
kepada Indonesia, dan perihal penentuan pendapat rakyat itu sendiri.
Dalam
pada itu, Indonesia memperjelas bahwa sesuai Perjanjian, Pepera dilaksanakan
dalam Dua Tahapan. Tahapan pertama dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei
1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan
non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan
dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua
ini tidak dibatasi. Nah, di sinilah peluang NKRI mempermainkan waktu tidak
dibatasi, sehingga yang terjadi adalah manipulasi untuk mempercepat
transfer itu kepada Indonesia. Setelah terjadi pergantian pegawai di Tahap
Pertama, maka masa berlaku Tahap kedua sama sekali tidak ada. Dengan kata lain,
Tahap Kedua tidak berjalan sama sekali. RUPANYA, yang terjadi adalah dengan
berakhirnya tahap pertama, maka berakhir pula tahap kedua secara bersamaan.
4.3.2 Dasar Implementasi
Hasil Pepera sesuai The Rome Joint Statement
Hal yang
menarik lainnya adalah rupanya The Rome Joint Statement telah memutuskan bahwa "Indonesia dan
Belanda akan mengakui dan tunduk kepada hasil akhir dari penentuan pendapat
dimaksud." Jadi, bagaimanapun salahnya implementasi itu, kedua belah pihak
rupanya sudah sepakat untuk mengakui hasil Pepera itu. Hasilnya kita lihat
salah satu butir Resolusi PBB No. 2504 tadi, yaitu:
"Mengingat
bahwa, sesuai dengan Pasal XXI, paragraph 2, kedua belah pihak yang
menandatangani Persetujuan ini telah
mengakui hasil ini dan tunduk kepadanya,"[iii]
Maka
hasilnya Belanda HARUS menerima hasil Pepera, tanpa komentar, tanpa pertanyaan,
tanpa apapun juga.
· Apakah
ini bahasa demokrasi?
· Di
manakah suara rakyat Papua?
· Bagaimana
kalau rakyat Papua tidak mengakuinya?
· Apakah
Pepera dilaksanakan di Indonesia atau di Belanda, sehingga yang harus
mengakuinya hanya mereka berdua?
· Ingatkah
Anda perihal pemaksaan Otsus di West Papua sekarang?
· Apakah
ada kesamaan-kesamaan?
4.3.3 Dasar Keterlibatan
PBB
Kemudian
ada tiga kata yang selalu diulang-ulang oleh NKRI dalam mengkleim keabsahan
Pepera, yaitu "nasehat, batuan dan partisipasi"
dari PBB dengan alasan bahwa ternyata PBB punya tanggungjawab langsung dengan
proses dan hasil Pepera itu sendiri. Jadi, kalau terjadi kesalahan, itu bukan
kesalahan Indonesia melulu, tetapi PBB juga turut terlibat. Dan kalau PBB
terlibat, tidak usahlah diasangsikan bahwa proses itu tidak demokratis.
Menyangkut
keterlibatan PBB ini, secara mendalam telah ditelaah dan dipresentasikan oleh
Dr. John Saltford dalam disertasi Doktoralnya berjudul "UNITED NATIONS
INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST
NEW GUINEA) 1968 TO 1969" bahwa ternyata PBB gagal, dan kegagalan itu
disengaja atas konsiparasi internasional demi kepentingan perang dingin untuk
melupakan saja persoalan West Papua dan mengalihkan perhatian kepada perang
melawan komunisme yang waktu itu sudah merajalela di Indonesia.[iv]
4.3.4 Dasar Resolusi PBB
No. 2504 (XXIV), 19 November 1969
Sebagai
penekanannya, NKRI menyatakan dengan mengadopsi
Resolusi 2504 (XXIV) Sidang Umum PBB ini, pelaksanaan penentuan pendapat rakyat
dengan cara musyawarah, tidak
dengan “satu orang, satu suara”, telah diterima oleh masyarakat
internasional. Dari segi ini, masyarakat internasional mengakui secara de
jure dan de facto, bahwa wilayah Irian Jaya adalah bagian integral
dari NKRI. Pengakuan internasional ini tidak dapat dianulir atau dibatalkan,
karena tak ada Negara satupun yang bisa menggugat legitimasi dari wilayah Irian
Jaya sebagai bagian dari NKRI. Prinsip integrigas dan kedaulatan dari Negara
mana saja adalah salah satu dari prinsip utama yang ditekankan dalam Piagam
PBB. Akibatnya, pergerakan separatis apa saja akan ditolak oleh masyarakat
internasional, karena hal itu melanggar prinsip-prinsip dan tujuan dari PBB itu
sendiri.
Padahal,
orang Papua tidak sekedar berpegang pada Resolusi 2504 (XXIV), tetapi
mempersoalkan proses untuk sampai kepada resolusi itu yang penuh dengan skandal
hukum, HAM, dan demokrasi.
Dalam hal ini mereka sama sekali mengabaikan:
· Berdasarkan
hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, apa yang terjadi
kalau RAKYAT SETEMPAT sendiri menolak Pepera ini?
· Apa yang
harus dibuat kalau rakyat sendiri secara demokratis mau menentukan nasib
sendiri?
· Apakah
pengakuan negara-negara yang bertikai cukup menjadi alasan untuk memaksa sebuah
bangsa dan negara ke dalam negara lain?
· Bukankah
ini sebuah pencaplokan secara paksa?
· Bisakah
Anda bayangkan apa yang akan dikatakan NKRI dalam Otsus II ini?
· Bukankah
jelas bahwa Otsus dijalankan sesuai prosedur dan desakan dunia internasional,
maka Otsus itu sah?
4.4
Sebagai Kesimpulan: Dua Dalil Utama NKRI
Lalu
sebagai kesimpulan, NKRI menegaskan:
4.4.1 Pertama, bahwa Implementasi
penentuan pendapat dijalankan secara demokratis dan dengan cara yang transparan
dengan melibatkan orang Irian Jaya dengan cara metode konsultasi
Keseluruhan
proses penentuan pendapat melibatkan partisipasi, bantuan, dan nasehat dari PBB
dan selanjutnya disetujui oleh masyarakat internasional (SU PBB).
· Orang
Irian Jaya siapa yang dilibatkan?
· Bagaimana
cara mereka dipilih dan dilibatkan? Apakah cara pemilihan berupa penunjukan
ataukah pemilihan sebagaimana kita kenal di dunia?
· Menurut
janji, ada wakil fungsional, ada wakil yang dipilih rakyat dan ada wakil dari
suku-suku yang ada. Nah, kalau ada 245 suku di West Papua, apakah mereka semua
terwakili waktu itu? Dapatkah keputusan satu suku menginjak-injak hak suku-suku
lain? Bagaimana kalau suku-suku yang tidak terlibat merasa tidak pernah meneken
kontrak sosial ini?
· Kalau
cara pemilihannya saja sudah tidak jelas, apakah hasil dari padanya dapat
dianggap sah secara demokratis?
4.4.2 Kedua, Jelaslah
di sini bahwa PEPERA sebagai implementasi dari penentuan pendapat tidaklah
cacat secara hukum
Interpretasi
unilateral dan misinterpretasi dari the New York Agreement dan
usaha-usaha untuk membelokkan persepsi bahwa The New York Agreement
seharusnya menerapkan sistem "one man, one vote" adalah jelas-jelas
tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak benar sesuai fakta yang ada.
· Apa yang
dimaksud NKRI dengan Pepera dan implementasinya tidak cacat hukum, padahal
proses pemilihan wakil-wakil yang terlibat sendiri sudah cacat hukum?
· Apa yang
dimaksudnya dengan kalimat ini padahal proses drilling exercises sendiri
sudah menunjukkan tidak sah?
· Apa yang
dimaksud dengan "sesuai dengan fakta yang ada?" Apakah fakta sosial,
budaya, ekonomi dan geografis, ataukah fakta manipulasi itu, ataukah fakta
keputusan SU PBB, atau fakta akor antara Belanda dan Indonesia atas rekayasa
AS?
5.
Tindakan-Tindakan NKRI yang Patut Dipertanyakan
5.1
Sengketa Pepera 1969 Ditindis dengan Sengketa "O", "P" dan
"M"
Ada
gelagat NKRI yang sangat menarik kalau kita lacak dan renungkan. Pertama
mereka mau menghapuskan ingatan sejarah bahwa Pepera 1969 itu cacat hukum,
cacat demokrasi, cacat HAM dan cacat moral. Kedua,
mereka mau mengisi tempat ingatan yang dihapus itu dengan pertentangan antara
Otonomi dan Pemekaran.
Kita
ingat saja sejak UU Otsus disahkan, setelah Theys Eluay sebagai tokoh
perjuangan kemerdekaan West Papua dibunuh, dan setelah berbagai operasi polisi
dan tentara diluncurkan di West Papua. Akhirnya, secara kontroversial, dengan
disengaja, RUU Otsus disahkan menjadi UU Otsus.
Memang
NKRI tahu bahwa pasti ada orang Papua yang akan menerima, ada yang akan
menolak, dan ada yang sikapnya tidak jelas. Mereka lebih terfokus pada
mempermainkan potensi yang menolak dengan tegas dan Poros Papindo (Papua-Indonesia).
Dengan
pertentangan-pertentangan ini, maka isu "M" malah dibelokkan menjadi
isu yang menerima dan yang menolak Otsus. Memang ada pengkaitan
antara yang menerima sebagai poros moderat dan yang menolak sebagai poros
ekstrim untuk Papua Merdeka, tetapi potensi pertentangan ini digarap dan
dikelola sedemikian rupa sehingga banyak sekali waktu, dana, dan daya orang
Papua habis terkuras dalam rangka menyikapi Politik Otonomisasi NKRI di West
Papua.
Ini
sengaja direkayasa supaya ingatan Pepera 1969 dilupakan dan permasalahan
Otonomi Khusus mendominasi pikiran rakyat Papua.
· Berhasilkah
gelagal mereka?
Anda
jawab sendiri berdasarkan kondisi pikiran Anda.
5.2 Orang Papua
dilibatkan dalam rancangan RUU Otsus II (2002 – 2027) maka Otsus II telah mendapat
legitimasi secara demokratis dan HAM
Alasan kedua karena Jaap Solossa
dan Frans Wospakrik bersama anggota mereka dilibatkan dalam meracang Otsus II
ini, maka NKRI bersikukuh bahwa proses pembuatan UU Otsus untuk West Papua
adalah karena orang Papua mendukung RUU dan implementasinya dilaksanakan oleh
orang Papua sendiri.
Ada persamaan di sini, antara
kleim waktu Pepera 1969 dan kleim Otsus 2002. NKRI punya kleim bahwa
wakil-wakil rakyat Papua dilibatkan dan atau dikonsultasikan dalam proses
Pepera 1969. Sama halnya pula, dengan pembentukan Tim Asistensi Otsus, NKRI
juga telah mengkleim bahwa konsultasi dengan wakil-wakil orang Papua dilakukan
secara menyeluruh dan tuntas.
Padahal mereka lupa bahwa Solossa
dan Wospakrik, walaupun secara biologis orang Papua, secara adminstratif dan
politis mereka berdua adalah aparat pemerintah NKRI yang ada di West Papua.
Yang terjadi adalah konsultasi antara pejabat pemerintah di tingkat pusat
dengan pejabat pemerintah di tingkat provinsi; NKRI berkonsultasi dengan NKRI.
Sama saja dengan itu, dalam Pepera NKRI membentuk DMP, dengan Ketua Theys
Eluay, lalu mereka menjalankan Pepera 1969 seolah-olah itu murni. Padahal pada
waktu pelaksanaan Pepera itu, di saat wakil PBB dan pengamat hadir di situ,
yang bertanya adalah pejabat pemerintah, dan yang menjawab juga adalah pejabat
buatan pemerintah pula. Tidak ada wakil rakyat yang berbicara dalam proses
Pepera 1969 itu.
Dengan kata lain, sama
halnya dengan proses Otsus I dan penerapannya, proses dan pengesahan Otsus II
juga penuh dengan skandal hukum, demokrasi dan pelanggaran HAM. Telah
disimpulkan bahwa proses inputting, processing, dan output Otsus
penuh dengan skandal-skandal. Maka NKRI tidak bisa memakai alasan ini untuk
memberlakukan Otsus di West Papua.
5.3
Retorika Pembangunan karena Papua Masih Primitif dan Masih Terkebelakang
5.3.1 Alasan Metode
Pepera 1969 dan Otsus 2001 Masih Sama
Dulu
waktu Pepera 1969, alasan perubahan metode "one man, one vote" ke
sistem "permusyawaratan perwakilan" adalah bahwa kemajuan ekonomi,
sosial, politik dan budaya serta kondisi geografis di West Papua tidak
memungkinkan sebuah penentuan pendapat sesuai praktek demokratis jajak pendapat
secara internasional.
Tanpa malu sendiri, setelah hampir setengah abad
menduduki wilayah yang dulunya dikleim sebagai "yang belum maju itu",
yang nyatanya bisa melaksanakan Pemilu 1970 tanpa halangan apa-apapun itu,
akhirnya pada tahun 2001, masih menggunakan alasan "keterbelakangan,
kemiskinan, kebodohan" yang sama untuk meloloskan agenda Otonomisasi di
West Papua.
5.3.2 Alasan Kondisi
Sosial-Politik di West Papua Masih Sama
Selain
alasan tingkat kemajuan orang Papua waktu itu, ada juga alasan yang mirip
lainnya, yaitu bahwa kondisi sosial-politik di West Papua tidak memungkinkan
untuk melakukan konsultasi secara menyeluruh. Maka dibentuklah DMP, padahal
Nieuw Guinea Raad sudah ada, maka dibentuklah Tim Asistensi Otsus, padahal PDP
sudah ada. Maka dikonsultasikanlah dalam seminar-seminar, padahal rakyat Papua
sudah tahu berdemokrasi, dan bisa melakukan referendum menolak atau menerima
Otsus II ini.
6.3.3
Pertanyaan-Pertanyaan Terhadap Alasan ini
Kalau
Indonesia menganggap West Papua masih belum maju, masih primitif, masih
terkebelakang, maka:
· Mana
bukti Indonesia sudah merdeka setengah abad lebih sementara rakyatnya masih
saja mengemis di pinggir jalan, tidur di bawah kolong jembatan, melacurkan diri
di usia muda dan tua, merampok, ber-KKN, dan sebagainya yang melanggar ajaran
agama dan moral?
· Mana
buktinya sedangkan setiap hari selalu ke luar negeri minta uang? Memangnya
Indonesia tidak punya harta yang dapat dinilai dengan uang atau dapat
diuntungkan?
· Berarti
jelaslah NKRI sebagai negara bukanlah milik bangsa Indonesia donk?
· Kalau,
ya, mengapa wilayah yang luas dan kaya-raya itu tidak sanggup membangun
negaranya?
· Berarti
Indonesia sebenarnya belum merdeka donk?
· Mana
bukti NKRI yang punya West Papua dan menjadikan West Papua sebagai bagian
integral dalam kerangka NKRI?
· Mana
bukti NKRI berdaulat sementara untuk menegakkan kedaulatan itu harus bertanya
kepada Canberra?
5.4
Yang Mendorong Pelaksanaan Pepera 1969 dan Otsus 2001 Masih Sama
Tanpa
kita sadari dan menganalisis secara utuh, rupanya alasan yang mendorong
pemberlakuan Pepera 1969, yang dimulai dengan ancaman invasi militer dan
peperangan yang diawali dengan Pengumuman Trikora (19 Desember 1961), yaitu
Otsus I di West Papua dan alasan pemberlakuan Otsus II 2002 adalah sama, yaitu
untuk menanggapi aspirasi Papua Merdeka.
Dengan
kata lain, dapat dibantah bahwa pemberlakuan Otsus I dan Otsus II di West Papua
bukanlah untuk membangun West Papua dan orang Papua seperti retorika yang
dikembangkan, bukan juga karena NKRI sudah semakin demokratis dan semakin
manusiawi, tetapi terutama karena NKRI dipaksa atau didesak oleh perubahan
sikap politik rakyat Papua terhadap penjajahnya.
5.5
Kleim Pengakuan Dunia Internasional Masih Sama
Yang
dikleim dengan kuat dalam Pepera 1969 sebagai Dasar Hukum yang Sah dan Tuntas
adalah Resolusi PBB No. 2504 (XXIV), 19 November 1969. Alasan-alasannya adalah
bahwa Pepera 1969 itu dilakukan atas dasar Resolusi PBB, dan dijalankan atas
nasehat, bantuan dan keterlibatan Wakil PBB, dan akhirnya disahkan oleh Sidang
Umum PBB, maka Pepera 1969 adalah sah karena diakui oleh masyarakat
internasional. Sama halnya pula, metode permusyawaratan perwakilan adalah sah
dan diakui dunia internasional karena telah disahkan dalam resolusi PBB
dimaksud.
Sekarang
dalam rangka Otsus II ini juga kita lihat NKRI selalu ke luar negeri untuk
minta jawaban kalau orang Papua harus diberi kemerdekaan atau tidak. Nyatanya
mereka kembali dan mengatakan: “Karena dunia internasional mendukung West Papua
sebagai bagian dari NKRI, maka demikianlah adanya! Orang Papua jangan
macam-macam!” Jadi, status politik, nasib politik dan hubungan politik West
Papua– NKRI ditentukan di Bruxxels, di London, di Canberra dan di Washington
dan bukan di Jakarta.
· Bukanlah
ibukota penjajah di West Papua di Jakarta?
· Bukankah
itu berarti ada hubungan tidak sehat dan tidak masuk akal?
· Mengapakah
orang Indonesia tidak seandai itu membacanya?
5.6
Fenomena Intimidasi, Terror dan Pembunuhan Menjelang Pepera 1969 dan Otsus 2002
Masih Sama Saja[v]
Sangat menarik juga melihat politik NKRI masih menerapkan
pola-pola yang sama dalam rangka meloloskan ambisinya. Bisa diduga bahwa dengan
perubahan waktu, pergantian pemimpin nasional dan pergantian konstalasi politik
NKRI, cara-cara implementasi kehendak Jakarta berubah. Tetapi dalam kasus NKRI-West
Papua, fenomenanya masih sama saja. Kita lihat apa yang terjadi tahun 1961-1969
di West Papua dan membandingkannya dengan apa yang sedang terjadi sekarang
seperti dicatat dalam Bagian I buku ini.
5.6.1 Melarang Kelompok
Oposisi
Orang
Papua yuang dicurigai sebagai anggota atau pendukung OPM, yang secara terbuka
menyuarakan aspirasi rakyat Papua atas dasar kebebasan seperti dijamin oleh PBB
dan khususnya dalam Perjanjian New York akhirnya harus mengalami nasib sial.
Banyak dari mereka dipenjarakan, dibunuh dan dideportase ke Jawa.
Dulu
Nieuw Guinea Raad dilarang berbicara, wakil-wakil OPM dilarang berbicara.
Sekarang juga sama. Kita lihat khususnya melalui Operasi Matoa dengan judul:
Skenario Memelihara Api Perjuangan West Papua Merdeka Berdaulat di Luar NKRI[vi]. Dalam dokumen
yang ditulis tangan ini berisi nama-nama organisasi yang dilarang bergerak,
seperti Demmak, DAP, TPN/OPM, PAP, DASS, SP, TAPOL/NAPOL, dan Pilar-Pilar PDP.
Yang sangat mengherankan adalah bahwa PDP sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan
West Papua tidak dicantumkan.
Dalam kesimpulan dokumen itu antara lain dikatakan:
Ω. Kehadiran Ormas tersebut di West Papua adalah
merupakan tandingan pemerintah NKRI.
Ω. Ormas tersebut sudah jelas tidak mendukung tujuan
nasional (Otsus) dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila & UUD 1945.
Ω. Ormas tersebut beranggapan merasa eksis dengan
berdasar kepada otoritas hak adat masy. Papua walaupun menyimpang dari psl. 43 Otsus &
TAP MPR III Th. 2002.[vii]
· Maka
tergambar jelas kemiripannya, bukan ?
5.6.2 Membentuk
"Dewan Musyawarah Pepera" (DPM - Act of Free Choice Electoral
Council)
Indonesia
mengartikan perkataan "pemilihan sesuai praktek internasional’ sebagai
penentuan pendapat sesuai sistem Indonesia permusyawaratan perwakilan. Dalam
kaitan ini, Kolonel Sutjipto, SH, Asisten Perdana Menteri untuk Urusan Irian
Barat mengatakan:
The New
York Agreement, is characteristically 'dynamic', moving, but not static. Its
dynamism initially lies in the purpose of the agreement itself.... so it has to
be the Indonesian Government's obligation as a party to the agreement, to take
preparative measurements in order to secure the agreement's
implementation."[viii]
[Artinya:
Perjanjian New York itu bercirikan dimamis, bergerak, dan tidak statis. Dalam
dinamismenya mulanya terletak pada tujuan daripada persetujuan itu sendiri…
jadi pelaksanaannya merupakan tugas Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang
menandatangani perjanjian dimaksud, untuk mengambil langkah-langkah persiapan
untuk menjamin pelaksanaan persetujuan itu.]
Persamaanya
kita bisa lihat, walaupun RUU Otsus sudah disahkan menjadi UU Otsus, walaupun
Pasal-Pasal sudah dijelaskan dengan baik, ada saja lubang-lubang yang tersedia
bagi NKRI untuk melakukan manuver-manuver politik. Ada saja peluang untuk
Megawati mengeluarkan Inpres No. 01/2003, ada saja peluang untuk menyatakan
bahwa UU Otsus dan UU Pemekaran tidak bertentangan, tetapi saling menopang. Ada
saja peluang untuk mengkleim bahwa UU Otsus perlu direvisi kembali, karena
tidak sesuai dengan jiwa ke-Indonesia-an, karena disahkan seutuhnya atas
kemauan non-Indonesia.
5.6.3 Mengancam Kaum
Nasionalis Papua yang Dianggap berbahaya terhadap Pepera
Seperti
dicatat dalam paper karya WesPaC-AMP tersebut:
Brigadier
General Ali Murtopo harangued the Papuan Nationalists in Jayapura for two hours
and told them that: "JAKARTA WAS NOT INTERESTED IN THEM AS PAPUANS, BUT IN
WEST IRIAN AS A TERRITORY. IF THEY WANTED TO BE INDEPENDENT THEY HAD BETTER
ASKED GOD TO FIND THEM AN ISLAND IN THE PACIFIC WHERE THEY COULD EMIGRATE, OR MAY
BE WRITE TO THE AMERICANS AND ASK IF THEY WOULD BE GOOD ENOUGH TO FIND THEM A
PLACE ON THE MOON.
[Artinya:
Brigjen Ali Murtopo menekan kaum nasionalis Papua di Numbay selama dua jam dan
memberitahu mereka bahwa "Jakarta tidak tertarik dengan mereka sebagai
manusia Papua, tetapi Irian Barat sebagai sebuah wilayah. Jikalau mereka mau
merdeka, mereka lebih baik meminta Allah untuk mencari tempat bagi mereka
sebuah pulau di Pasifik sana di mana mereka bisa pindah kesana, atau bisa
menyurat ke orang Amerika dan kalau mereka berbaik hati untuk mencari tempat
buat mereka di bulan.]
Lalu
bunyi ancaman itu berlanjut:
He
impressed upon them that 115 million Indonesians had fought for West Irian for
years. They had made many sacrifices in this struggle, and they would not
therefore allow their national aspirations to be crossed by a buch of Pauans.
Short shrift would be made of those who voted against Indonesia. Upon them
would fall the vengeance of the Indonesian people.
[Artinya:
Dia lalu melanjutkan bahwa 115 juta orang Indonesia sudah berperang
memperebutkan Irian Barat bertahun-tahun lamanya. Sudah ada banyak pengorbanan
dalam perjuangan ini, dan karena itu mereka tidak akan pernah membiarkan aspirasi
nasional mereka dibatalkan oleh segelintir orang Papua. Lidah orang yang
berbicara melawan Indonesia akan dipotong. Keganasan orang Indonesia akan
menimpa atas mereka. Dan di antaranya Ali Murtopo sendiri akan tembak di tempat
orang-orang begitu.]
Kita
dengan mudah membandingkan perilaku NKRI dalam Otsus I dan Otsus II mirip
sekali seperti:
1)
. Orang Papua yang dianggap bahaya
dilempar keluar (diasingkan)
Kita
lihat apa yang terjadi dengan Barnabas Suebu dan Fredy Number secara jelas
sekali. Waktu mereka menjabat Gubernur Irian Jaya, banyak sekali program yang
secara strategis membahayakan keberadaan NKRI di wilayah itu. Barnabas suebu
berbahaya waktu itu karena beliau membangun kekuatan masyarakat akar-rumput
secara ekonomi begitu baik, dan mendorong koperasi-koperasi dengan luarbiasa.
Bayangkan
saja kalau semua orang Papua mampu secara ekonomi. Kita sudah lihat dalam
muslihat penjajah bahwa biasanya penjajah tidak pernah menginginkan kaum yang
dijajah menguasai sumber-sumber ekonomi. Karena itu beliau harus diusir keluar
dari West Papua.
Beliau
juga sudah berkampanye ke seluruh pelosok West Papua memperkenalkan dirinya.
Kita tidak tahu apa gerangan rencananya setelah semua orang Papua mengenalnya.
Sedangkan
Fredy Number punya program lain yang berbahaya juga bagi NKRI, yaitu beliaulah
Gubernur orang Papua yang pertama kali menyisihkan dana pendidikan secara
khusus. Beliau lalu punya program Pola Pendidikan Berasrama, peningkatan mutu
pendidikan dan penyekolahan kader-kader Papua ke Jawa dan keluar negeri.
Dua
orang ini terepaksa dilempar, karena dianggap berbahaya.
2)
Orang Papua yang dianggap bahaya dibunuh
Theys H.
Eluay adalah contoh yang jelas. Seperti pembunuhan yang ramai terjadi waktu
Pepera 1969, menjelang Otsus II ini juga terjadi pembunuhan yang ramai,
penyerangan-penyerangan, intimidasi, dsb. Fenomena-fenomena seputar inputting,
processing dan output UU Otsus dengan jelas menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang sama.
Pembunuhan Yusuf Tanawani, Yafeth Yelemaken,
William Onde, Simon Alom, Yustinus Murib dan pasukannya, semua ini adalah dalam
usaha mengamankan dan memperlancar implementasi paksa Otsus II.
3)
Orang Papua yang dianggap bisa dibeli,
dibeli saja
Jangan
heran bahwa Poros Papindo bukan hanya ada sekarang, tetapi dulu juga ada.
Istilah Papindo itu sendiri bukan istilah tahun 2000-an, tetapi istilah yang
lazim dipakai di tahun 1960-an untuk merujuk kepada orang Papua-Indonesia.
Dulu JM
Bonay dibeli dengan janji-janji bahwa setelah 5-25 tahun nanti, West Papua akan
dimerdekakan oleh NKRI. Sekarang JP Solossa juga dibeli dengan janji-janji yang
sama. Nasib JM Bonay menyedihkan, karena setelah ia melihat janji-janji NKRI
tidak dipenuhi, dia meninggalkan jabatan Gubernurnya dan melarikan diri ke
Belanda. Dia meninggal di Belanda sebagai pendukung murni Papua Merdeka.
· Bisakah
Anda bayangkan nasib Jaap Solossa ?
· Kalau
tidak sama, maka kita akan heran, mengapa harus berakhir secara berbeda,
padahal berawal dalam pola yang sama?
David
Huby, AJ Djopari, dan rekan mereka semua yang disebut Poros Papindo adalah
pihak yang sudah dibeli NKRI. Nasib mereka sama dengan Theys H. Eluay waktu
itu. Mereka kalau maju kena, mundur juga kena. Kejadian ini sama saja dengan
yang terjadi pada Marthen Indey, Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan lainnya yang
dulunya membantu NKRI dengan sepenuh hati, dengan harapan ada gula-gula manis
dari NKRI, tetapi ternyata tidak didapat, maka mereka memberontak, tetapi
akhirnya terlanjur, mereka maju kena, mundur kena, maka matilah mereka
ditengah-tengah. Mereka dikenang sebagai pahlawan Nasional Indonesia. Tetapi
mereka tak dikenal dalam buku hati orang Papua. Mereka tergolong penghianat
bangsa.
Uang
yang waktu itu diberikan Belanda lewat Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia
malahan digunakan untuk membunuh, membujuk-rayu dan merusak orang Papua,
sehingga setelah 25 tahun kemudian, hasil pembangunan itu tidak juga nampak.
Makanya, alasan yang sama dipakai untuk memaksakan Otsus II bagi West Papua.
5.7
Maka Wajah Otsus I dan Otsus Dua Juga Pasti Sama
Dengan
tidak terlalu sulit dapat disimpulkan bahwa segala peristiwa yang
melatarbelakangi, segala peristiwa yang mengelilingi, serta segala peristiwa
yang mengikuti kebijakan Otsus I dan Otsus II di West Papua adalah SAMA, yaitu
intimidasi, teror, manipulasi, rekayasa, pengejaran, pengindoktrinasian,
pemaksaan, dan pembunuhan dengan berbagai cara.
Kalau
alasan pemberlakuan kedua Otsus, metode pemberlakuannya, kleim yang disampaikan
atas kedua kebijakan dan proses pemberlakuannya sama, maka tidak terlalu sulit
bagi siapa saja untuk berkesimpulan bahwa hasil dari pemberlakuan kedua Otsus
itu adalah sama saja.
Maka
catatan Papua dalam Bagian II buku ini tentang fenomena-fenomena Otsus adalah
nyata dan benar adanya, tidak dapat disangkal dengan dalih apapun juga.
Pantaslah kalau orang Papua membantah kleim-kleim NKRI yang dibuat-buat
sendiri.
6. Pokok-Pokok
Sengketa bangsa Papua[x]
Sudah jelas,
menurut orang Papua. Orang Papua minta merdeka BUKAN karena ketidakadilan,
keterbelakangan dan kekerasan militer, perbedaan ras, dan sebagainya, TETAPI
itu adalah tetapi karena hak.
Orang Papua tidak melihat sebuah
masalah dalam hal mau menerima Otsus atau menolak. Pokok sengketa ada pada
sejarah West Papua, ada pada hal-hal yang jauh sebelum itu, jauh sebelum Orde
Baru, jauh sebelum G-30/S-PKI, yaitu jauh sebelum semua yang mendasari
kebijakan Jakarta, dan retorika politik elit politik Papua, pemimpin dunia, dan
penguasa di Jakarta.
6.1
KESATU: Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)[xi]
Persoalannya
mulai nampak sejak 1 Desember 1961,
dalam Kongres Nasional West Papua I, 1961, peristiwa bersejarah dalam
sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara yang
terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana
telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan:
Pertama, West
Papua sebagai nama negara,
Kedua, Papua
sebagai nama bangsa
Ketiga, Bintang
Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat, Burung
Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)
Dengan batas
negara wilayah laut, darat dan udara, (bukan sebagai
sebuah provinsi NKRI)
Kelima, lagu Hai
Tanahku Papua, sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu
kebudayaan)
sah sebagai
sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM, dan hukum universal)
dan diakui oleh
Belanda (yaitu
pemerintah yang sudah merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)
Sejarahnya seperti ini:
…
the Dutch Government in 1957 began a cooperation with Australia for the
DEOLONISATION of their respective colonies, namely The Territory of Papua &
New Guinea (Australia) and The Netherlands New Guinea (Dutch).[xii]
[Artinya: Pemerintah Belanda
pada 1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi wilayah
koloni mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New Guinea (Australia)
dan Nederland Nieu Guinea (Belanda)]
Oleh karena itu, kita sebut
Kongres Nasional Papua (KNP) tahun 2000
dengan nama KNP II 2000. Namanya sendiri sudah membuktikan dengan jelas, bahwa
bangsa Papua tidak berfikir sebatas kekerasan militer NKRI regime Orde Baru,
dan karena kita ada dalam era reformasi sehingga bikin kongres.
Fakta sejarah ini tidak dapat
dihapus dengan apapun juga. Dengan darah Theys, dengan darah Thom, dengan darah
Arnold Ap, dengan darah Yusup Tanawani, dengan darah William Onde, dengan darah
Obeth Tabuni, dengan darah Hans Bomay, dengan darah Laurenz Dloga. Semuanya
bukan menghapus ingatan sejarah ini, tetapi justru mencat kembali, menambah
terang tinta itu dan mendorong bangsa Papua untuk terus maju dengan tuntutan
kebenaran.
Belanda waktu itu secara resmi
mengumumkan untuk memberikan kemerdekaan tanggal 1 Juli 1970. Oleh karena
itulah, Operasi Papua Merdeka yang kemudian menjadi Organisasi Papua Merdeka
(OPM) memproklamirkan kemerdekaan West Papua tanggal 1 Juli 1971, setahun
setelah menunggu dan karena terbukti Belanda ingkar janji.
Hasil daripada kerjasama dan
kesepakatan dengan Australia di atas, terbentuklah Nieuw Guinea Raad seperti
diceritakan berikut:
On
April 5, 1961, the Dutch Government appointed Local Council Members, and in its
Official Gazette No. 68 formalised the establishment of the West Papuan Council
(Nieuw Guinea Raad) in order to undertake all Representative and Legislative
tasks. The Council later the National Attributes of the West Papua State,
namely: West Papua for the Nation, The Morning Star for the National Flag, 'My
Land of Papua' as its National Anthem, and the whole colony of The Netherlands
New Guinea became the State's Territory.[xiii]
[Artinya: Pada April 5,
1961, Pemerintah Belanda mengangkat Anggota Dewan Setemppat, dan dalam Gazette
Resminya No.68 meresmikan pendirian Dewan West Papua (Nieuw Guinea Raad) untuk
menjalankan seluruh tugas-tugas perwakilan dan legislasi. Dewan ini kemudian
menjadi Atribut Nasional dari Negara West Papua, yaitu: West Papua sebagai
Bangsa, Bintang Kejora sebagai Bendera Nasional, ‘My Land of Papua’ sebagai
Lagu Kebangsaan, dan seluruh wilayah koloni Nederland New Guinea menjadi sebuah
wilayah Negara itu.]
Itu fakta sejarah, yang tidak
dapat ditukar dengan apapun juga yang ditawarkan Jakarta sebagai kekuasaan yang
menduduki West Papua.
Oleh karena itulah, orang
Papua bilang, jangan bertanya mau terima Otsus atau tidak, tetapi
pertanggungjawabkan kasus pembunuhan hak kebangsaan Papua dan negara West
Papua.
Itulah sebabnya,
dalam beberapa kali wawancara Alm.
Ondofolo Theys H. Eluay selalu bilang bangsa Papua tidak dapat disamakan
dengan Timor Timur (waktu itu). Karena perbedaannya yang hakiki secara hukum
internasional. West Papua sudah merdeka, dan sekarang hanya menunggu pengakuan
negara lain, yaitu pengakuan NKRI dan dunia. Dibandingkan dengan Timor
Lorosa’e, kasus teman-teman Melanesia di sana
tetap menjadi perhatian dunia walaupun mereka belum merdeka.
Berdirinya negara West Papua itu
tidak hanya diakui oleh Belanda dan orang Papua, tetapi Presiden Soekarno juga
mengakuinya dalam Trikora, yaitu menyangkut pokok sengketa KEDUA.
6.2
KEDUA, Pengakuan Sukarno dalam Butir Trikora (19 Desember 1961)
Secara terbuka di Alun-Alun Utara
kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa
West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli
1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang disebutnya
Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat). Tiga buah komando itu berbunyi:
o
Bubarkan Negara Boneka Papua
buatan Belanda
o
Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh
Irian Barat, dan
o
Bersiaplah untuk mobilisasi umum[xiv]
Tiga butir Trikora berkata
begini:
Pertama: Negara Papua sudah
ada, tetapi Indonesia harus membubarkannya, karena Indonesia menganggapnya
sebagai negara boneka.
Dan, kedua: pembubaran
itu dilakukan dengan sebuah invasi militer alias dengan paksa.
Jadi, Soekarno dengan jelas
mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal 19 Desember 1961 itu.
Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara yang hendak diinvasi NKRI secara
militer, dengan perintah pengibaran bendera NKRI dan persiapan perang semesta
dan negara itu bernama Papua.
Artinya West Papua sudah diakui sebagai negara
secara de jure. Bangsa Papua sudah mengakui, Belanda sudah
mengakui dan Soekarno sebagai presiden RI juga sudah mengakui fakta hukum itu.
· Lalu
mengapa Soekarno memakai istilah negara "Boneka" Papua?
Jawabannya jelas klasik. Pertama,
karena Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan NKRI punya "dendam" dan
kebencian politik terhadap Belanda dan apa saja yang Belanda perbuat karena
dipandangnya sebaga kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Itu pandangan
secara obyektif. Kedua, secara subyektif, Sukarno juga melihat Belanda
yang tidak mau mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu sedang mempersiapkan dan
mengakui persiapan kemerdekaan negara lain (West Papua).
· Mengapa
wilayah jajahan Belanda yang bernama Indonesia harus mengorbankan jutaan nyawa
dengan dana dan tenaga yang tidak sedikit, dalam tempo waktu 350 tahun,
sedangkan West Papua hanya mau dikasih seenaknya saja tanpa pengorbanan
apa-apa?
Jadi, apa saja yang dibuat
Belanda dipandang secara negatif, termasuk negara Papua Barat disebutnya sebagai "Negara
Boneka".
Entah boneka atau benaran
tidaklah mengapa, karena nama itu diberikan Sukarno, bukan oleh Belanda ataupun
orang Papua sendiri. "Intinya adalah Soekarno sudah mengakui ada negara
yang bernama Papua (Barat)".
6.3 KETIGA: The New York Agreement (15 Augustus
1962)[xv]
Setelah perdebatan yang alot
antara elit politik NKRI, terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis
pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta,
akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau
kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI.
Walaupun Moh. Hatta memimpin
delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West Papua, Moh. Hatta
mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno
melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut status West Papua
karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian integral Indonesia.
Ini salah satu bukti sikap Moh.
Hatta itu:
In
1949, the Round Table Conference was held in The Hague, the Netherlands. In
that conference the Dutch were determined not to cede sovereignty over West
Papua. The Indonesian Nationalists simply claimed West Papua as PART OF
INDONESIA, based on the Dutch Colonial Map. The claim was strictly opposed by
the leader of the Indonesian delegation, Dr. Mohammad Hatta (then the Vice
President of the Republic of Indonesia and the Delegation Leader). Such
opposition later cooled off his relation with Soekarno.[xvi]
[Artinya: Tahun 1949,
diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dalam konferensi
ini Belanda bersikeras tidak melepaskan West Papua. Nasionalis Indonesia
mengkleim West Papua sebagai bagian dari Indonesia, berdasarkan peta Kolonial
Belanda. Kleim Indonesia ini ditolak tegas oleh Ketua Delegasi Indonesia Dr.
Moh. Hatta (kemudian Wapres NKRI pertama dan Pemimpin Delegasi). Sikap
oposisinya seperti inilah yang mendinginkan hubungan dekatnya dengan Sukarno.]
Selanjutnya Hatta menyatakan:
"PERSOONLIJK
WENS IK TE VERKLAREN DAT WEST IRIAN MIJ NIETS KAN SCHELEN. IK ERKEN DAT OOK HET
PAPOEA-VOLK HET RECHT HEEFT EEN VRIJE NATIE TE WORDEN"
[Artinya: Secara pribadi,
saya mau menyatakan bahwa saya tidak punya urusan apa-apa dengan Irian Barat.
Saya menyadari bahwa orang Papua sebagai sebuah bangsa mempunyai hak untuk
menjadi sebuah bangsa yang merdeka.]
Begitulah sekilas riwayat
perundingan menyangkut West Papua, tetapi akhirnya, atas bantuan dalang AS
melalui Elsworth Bunker, AS berhasil membawa Belanda dan NKRI ke meja
perundingan. Dan perundingan-perundingan yang TIDAK melibatkan satupun orang
Papua atau wakil resmi bangsa Papua, yaitu Nieuw Guinea Raad itu
menghasilkan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
· Mengapa
AS mengirim Elsworth Bunker? atau
· Mengapa
AS campur tangan?
· Mengapa
New York Agreement dan bukan Den Haag Agreement atau Bandung Agreement
atau lainnya?
Alasan yang jelas, waktu itu Sukarno pandai memanfaatkan konflik
perang dingin melawan komunisme. Sukarno mendrop pasukan Trikora, yaitu
masyarakat sipil dan anggota tentara Indonesia, termasuk kapal-kapal perang
buatan Uni Sovyet. Seperti Sukarno tidak enak tidur gara-gara pengakuan
negara West Papua 1 Desember 1961 dan mengeluarkan dektrit Trikora, sekarang J.
F. Keneddy mendapat giliran mimpi buruk. Poros Jakarta - Pyong Yang – Peking –
Moskwa membuat J.F. Keneddy mengambil langkah hidup-mati.
Sukarno telah melanggar prinsip
politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang bebas dan aktif dengan poros
ini, karena ia jelas-jelas berpihak pada Blok Timur. Tetapi hasilnya jelas,
yaitu membuat Kennedy (pemimpin Blok Barat) turun tangan. Dan ia berhasil,
yaitu Elsworth Bunker diutus secara khusus menjadi sutradara penyelesaian
sengketa dan berhasil membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah
"The New York Agreement" tanggal 15
August 1962.
Perjanjian inilah yang menjadi
patokan utama dalam penentuan nasib bangsa Papua selanjutnya. Tetapi pertanyaan
orang Papua adalah:
· Mengapa
masalah yang sangat menentukan masa depan sebuah bangsa dan negara ditentukan
oleh AS melalui E. Bunker?
· Bukankah
yang berwenang mengatur masa depan bangsa dan negara yang sudah diakui secara de
jure adalah PBB?
· Mengapa
tidak satupun orang Papua atau wakilnya dilibatkan, dikonsultasikan atau
diikutsertakan untuk melihat saja, kalau tidak dapat terlibat, dalam semua
proses ini?
Persekongkolan ini telah
melahirkan malapetaka bagi bangsa Papua dan Negara West Papua.
Ditambah lagi, rupanya AS tidak
hanya mau meraih untung secara politis, yaitu menang dalam perang dingin. Ia
punya ambisi mengeruk kekayaan Bumi Cenderawasih dengan menendang Belanda
keluar. Surat Rahasia J.F. Keneddy yang memaksa Belanda menyelesaikan konflik
dengan Indonesia secara damai adalah bukti ada niat lain juga di balik campur
tangan AS dalam masalah West Papua.[xvii]
Tandatangan Kontrak Karya penambangan Freeport – NKRI 7 April 1967 adalah buktinya.
AS menjamin dukungan dana melalui
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk membangun West Papua, yaitu untuk
menggenapi rencana Papua-nisasi Belanda dalam kaitan rencana Belanda
mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Dengan demikian Belanda percaya bahwa
sekutunya dalam perang melawan komunisme itu akan melaksanakan janjinya. Dalam
hal ini Sukarno-Keneddy berhasil.
Hasilnya lahirlah The New York
Agreement 15 August 1962.[xviii]
TIDAK ADA SATUPUN wakil atau
orang dari West Papua yang dilibatkan, atau dikonsultasikan atau diikutsertakan
saja dalam segala babak perundingan, rancangan, pembahasan dan penandatanganan
The New York Agreement ini. Negara dan bangsa yang menjadi subyek hukum New
York Agreement atau yang dipersengketakan secara politik tidak dilibatkan sama
sekali. Malahan negara yang mempersengketakan dan negara yang tidak ada sangkut
paut dengan sengketa itu yang terlibat menandatangani perjanjian itu.
Karena itulah generasi baru orang Papua katakan kepada regime
Mega-Hamzah:
Masalahnya
bukan pada bangsa Papua mau menerima Otsus atau tidak. Dan bukan masalah kalau
menerima, maka kita hapus huruf "M" dan kalau menolak berarti kita
hapus huruf "O". Masalahnya bukan juga pada regime Orde Baru membunuh
banyak orang Papua, bertindak tidak adil dan masa reformasi sekarang lebih
demokratis, lebih menghargai HAM dan mau menegakkan hukum, dan karena itu orang
Papua harus terima Otsus.
Pokok sengketanya bahwa
adalah orang Papua merasa masih ada
masalah yang lebih penting, yang berskala internasional, yaitu menyangkut
prinsip demokrasi, prinsip HAM, dan prinsip hukum universal, yang lebih pokok
tetapi ditutup begitu saja.
Makanya NKRI tidak bisa
menawar nilai Otsus dengan harga dan nilai kebangsaan Papua dan negara West
Papua karena keduanya tidak terkait, tidak saling mendukung dan tidak saling
menghambat. Aspirasi "M" punya akar berbeda, dan tawaran
"O" hal yang tidak dapat dikaitkan dengannya.
6.4
KEEMPAT, The "Secret"
Memmorandum of Rome (30 September 1962) dan The Rome Joint Statement (20
– 21 Mei 1969)
6.4.1
The ‘Secret’ Memorandum of Rome[xix]
Dalam buku WestPaC-AMP[xx]
tertulis isi dari Memorandum ini :
Possibility
to delay or to cancel The Act of Free Choice set for 1969 by the New York
Agreement.
(Artinya : Kemungkinan
menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York)
Indonesia
to occupy West Papua for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963)
[Artinya : Indonesia akan
menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1
Mei, 1963]
The
execution of the 1969 Act of Free Choice would be carried out based on the
Indonesian parliamentary 'musyawarah' (deliberation) practices.
[Artinya : Pelaksanaan 1969
Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’.]
U.N.'s
final report on the implementation of The Act of Free Choice to the UN General
Assembly had to be accepted without open debate.
[Artinya : Laporan akhir PBB
atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka]
The
USA to make investment through Indonesia state-owned companies for the
exploitation of Natural Resources in West Papua.
[Artinya : AS membuat
investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di West
Papua]
USA
guaranteed Asian Development Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of
West Papua for 25 years.
[Artinya : AS menjamin lewat
Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di
West Papua selama 25 tahun].
USA
to guarantee the World Bank plan and implement Transmigration of Indonesians to
West Papua.
[Artinya : AS menjamin
rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua].
Rancangan ini kemudian menjadi
sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint Statement. Menarik
untuk dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya dimaklumkan kepada dunia
dan dengan demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The
New York Agreement.
6.4.2
The Rome Joint Statement[xxi]
Cerita pelanggaran hak sebuah
bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa
dengan nama The "Secret" Memmorandum of Rome (atau NKRI
dokumen itu berjudul The Rome Joint Statement) [xxii],
yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI,
Belanda dan AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan)
memorandum rahasia ini TIDAK MELIBATKAN, tidak dikonsultasikan dan tidak
dilakukan bersama, di hadapan seorang Papua atau wakil orang Papua-pun.
Yang mengherankan, isi The
Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini secara mendasar dan secara
sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu
tatacara pelaksanaan Pepera.
Dalam Pasal 22 The New York
Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat dinyatakan:
1.
The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights
of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants of the
area. …
[Artinya: UNTEA dan
Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk kebebasan
berbicara, kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah setempat.]
Menyangkut hal ini, dalam
Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John Saltford mengatakan:
A
brief examination of the official November 1969 report is all that is needed to
conclude that the Agreement was not fulfilled. Under its terms, the
Netherlands, Indonesia and the UN had an obligation to protect the political
rights and freedoms of the Papuans, and to ensure that an act of
self-determination took place, in accordance with international practice. On
both these points, the three parties failed, and they did so deliberately since
genuine Papuan self-determination was never seen as an option by any of them
once the Agreement was signed.[xxiii]
[Artinya: Hanya kajian
singkat terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup untuk tiba pada
kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi. Atas persyaratan
yang ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan PBB bertugas untuk
melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk memastikan bahwa
hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek internasional.
Dalam kedua pokok ini, ketiga belah pihak telah gagal, dan mereka gagal dengan
sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa penentuan pendapat yang
sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka membubuhkan tandatangan pada Agreement
itu.]
Di bagian lain buku ini sudah
dibilang bahwa ada dua babak Otsus di West Papua, yaitu Babak I dan Babak II. Memorandum
Roma dan Pernyataan Bersama Roma inilah RUU dan UU Otsus I, yang
secara mengherankan tidak melibatkan orang Papua. Otsus I ini berjangka waktu
25 tahun, yaitu 1863-1988. Inilah dasar hukumnya sampai Alm. Dr. Thomas Wapai
Wainggai memproklamirkan kemerdekaan lagi 14 Desember 1988. Jadi, Rumkorem-Prai
memproklamirkan Papua Merdeka 1 Juli 1971 berdasarkan janji Belanda 1 Juli
1970. Setelah itu Wainggai juga melakukan hal yang sama berdasarkan janji
Memorandum/Kesepakatan Roma. Keduanya dalam konteks menggenapi janji-janji
pihak asing, walaupun tanpa orang Papua dilibatkan dalam janji-janji itu.
Memorandum/ Kesepakatan Roma ini
selain rahasia, isinya penuh dengan skandal. Skandal pertama tidak
melibatkan orang Papua. Skandal kedua yang lebih parah yaitu pasal-pasal
inti dari The New York Agreement 15 August 1962 dirubah secara sepihak.
· Di mana
skandal itu terjadi?
Di sinilah tempatnya, yaitu di
Roma, tanggal 20-21 Mei 1969, sekitar sepulu minggu sebelum Pepera yang dimulai
14 Juli 1969. Dalam pada itu, sistem Pepera disepakati sbb.:
The
Netherlands Ministers took careful note of the Indonesian position on these
points and of the arguments on which the Indonesian Government based its choice
of the "Musyawarah" system. Furthermore Mr. Luns and Mr. Udink noted
with great interest the Indonesian Foreign Minister's statement concerning his
Government's particular attention to the special requirements of West Irian.[xxiv]
[Artinya: Menteri Luar
Negeri memperhatikan dengan saksama posisi Indonesia dalam hal-hal ini dan
tentang argumen-argumen yang melandasi pilihan Pemerintah Indonesia atas sistem
"Musyawarah". Lebih Lanjut Pak Luns dan Pak Udink memperhatikan
dengan perhatian penuh pernyataan Menlu Indonesia tentang perhatian khusus
Pemerintah’nya atas kebutuhan-kebutuhan khusus dari Irian Barat.]
Pernyataan ini terjadi tanpa PBB,
secara rahasia antara Belanda dan Indonesia. Walaupun dalam teks terdahulunya
New York Agreement menyatakan cara Pepera dengan pola one-man, one-vote
alias satu orang satu suara, versi Agreement
dimaksud yang sedang beredar di seluruh dunia berbunyi musyawarah
sebagai cara menjalankannya. Perubahan mendasar redaksional ini terjadi di The
Rome Joint Statement.
Skandal ketiga
walaupun isi New York Agreement disiarkan secara terbuka kepada orang Papua,
isi Memorandum Roma sama sekali ditutup. Jadi, selain rapatnya rahasia, hasil
rapat itu juga dirahasiakan. Sampai hari ini tidak dibukukan dalam dokumen
resmi manapun juga.
Jadi, orang Papua sebenarnya
sudah bersabar walaupun mereka tahu hubungan West Papua – NKRI sarat dengan
dosa-dosa bangsa lain terhadap bangsa dan negara yang sudah diakui tanggal 1
Desember 1961. Otsus I di West Papua dijalankan penuh dengan lumuran darah.
Alam West Papua sudah diobrak-abrik, dan kandungannyapun sudah digali keluar.
Barang-barang itu bukan dibawa ke Jakarta, tetapi ke luar negeri.
Itulah sebabnya orang
Papua bertahan pada posisi yang lebih hakiki, yang berakar pada harga diri
sebuah bangsa dan negara daripada sekedar menerima atau menolak Otsus. Itulah
sebabnya bangsa Papua mau AS dan Belanda menjelaskan peranan mereka, tidak
sekedar mau terima kebijakan NKRI atau tidak. Karena kasus ini tidak hanya
menyebabkan malapetaka bagi orang Papua, tetapi juga telah memulai sebuah
episode pencatatan nama dan nilai rapport Merah bagi NKRI.
NKRI dipaksa memenuhi janji dalam
memorandum Roma ini, dan akibatnya harus memberi jaminan keamanan bagi kegiatan
"pembangunan" di West Papua. Akibatnya pelanggaran HAM di West Papua
dalam rangka mengamankan aset dan operasi ekspoloitasi perusahan asing di West
Papua selalu disoroti dengan keras. Akibatnya bukan diderita oleh negara yang
membawa lari kandungan alam West Papua, tetapi orang yang disuruh jaga dapur
mereka itu, yaitu NKRI.
Makanya orang Papua bilang:
Mega-Hamzah persoalannya bukan karena orang Papua
menerima atau menolak Otsus, tetapi lebih penting lagi kami mau membantu NKRI
terlepas dari jerat dan lumpur kapitalisme yang sudah merajalela di segenap
wilayah Nusantara. Karena antara West Papua dan NKRI dapat
menyelesaikan masalahnya secara ke-Timur-an dan kekeluargaan, tetapi ada pihak
lain yang menodong kita berdua. Dan kita bersama harus melawannya.
6.5
KELIMA, Penyerahan West Papua dari UNTEA kepada NKRI (1 Mei 1963)
Salah satu hasil The Joint
Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah West Papua dari Belanda kepada
NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1
Mei 1963.[xxv]
Peristiwa ini terjadi lima tahun
lebih dulu daripada PEPERA 1969[xxvi]
yang akan menentukan keputusan orang Papua apakah mau bergabung dengan NKRI
atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961.
Dalam Perjanjian New York
dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan
Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai
"dari
1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan
oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA
diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu
pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat,
UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.[xxvii]
Padahal kalau kita lihat, tanggal
1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi sebelum Tahap
Kedua dijalankan, wilayah itu sudah diserahkan kepada NKRI.
· Apakah
mereka tidak mengerti redaksi The New York Agreement?
· Apakah
mereka salah menghitung waktu?
· Ataukah
memang ada manuver-manuver politik NKRI yang dikenal kotor itu?
Ini pokok persoalan utama
kelima, yang sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih
disengketakan orang Papua. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti
aspirasi "M" dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada
relevansinya dengan skandal perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang
diadakan antara Belanda dan Indonesia.
6.6
KEENAM: Pepera (14 Juli – 2 August 1969)
Inilah jangka waktu pelaksanaan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Papua.
Sengketa pertama di sini adalah
bahwa Pepera 1969 itu dilaksanakan atas dasar The New York Agreement
yang di dalamnya tidak ada konsultasi dalam bentuk apapun dengan orang Papua
atau wakil bangsa Papua. Ditambah lagi, pelaksanaan Pepera itu sendiri tidak
sesuai dengan seluruh bunyi dan pasal dalam perjanjian yang mereka sendiri
tandatangani itu. Contoh yang paling menonjol adalah prinsip satu orang satu
suara (one-man one-vote) seperti tertera dalam The New York Agreement
(15 Agustus1962), kemudian dirubah menjadi musyawarah (dalam diskusi
awal 1962) dan dalam penandatanganan The Rome Joint Statement (20-21 Mei
1969).
Kemudian orang yang dilibatkan
dalam Pepera (termasuk Alm. Dortheys H. Eluay sebagai orang kunci Dewan
Musyawarah Pepera - DMP) bukanlah Wakil Rakyat Papua yang sudah dipilih secara
demokratis, yaitu anggota Nieuw Guinea Raad. NKRI membentuk Dewan sendiri yang
bernama DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk hanya 1,025 orang untuk
secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.
Inilah kleim NKRI dalam papernya
menyankut Pepera:
The
New York Agreement did not specifically stated the procedure and method of the
implementation of the act of free choice. Therefore, the appropriate means that
was suitable to the level of social, economic, and cultural development and the
geography of West Irian needed to be established. This was due to the fact that
the New York Agreement did not require the implementation "one man, one
vote" system on the act of self determination. There was no engineering
involved and no cause for suspicion, for the reason that according to
international law, there was no obligation that an act of self determination
had to apply a "one man, one vote" system.[xxviii]
[Artinya: Perjanjian New York
tidak secara spesifik menyebutkan prosedur dan metode implementasi penentuan
pendapat rakyat. Oleh karena itu, cara yang tepat yang cocok mengingat tingkat
perkembangan sosial, ekonomi dan budaya dan geografi Irian Barat perlu
ditetapkan. Hal ini karena buktinya Perjanjian New York tidak membutuhkan
implementasi sistem "one-man, one-vote" dalam Pepera ini. Tidaka ada
rekayasa yang dilibatkan dan tidak ada alasan untuk curiga, atas alasan bahwa
sesuai dengan aturan internasional, tidak ada keharusan bahwa Pepera harus
dijalankan dengan sistem "one man, one vote]
Maka dengan kleim itu, NKRI
menganggap Pepera adalah solusi final buat status politik West Papua.
Kita perlu tanya dua hal
sekarang:
·
Dapatkah sebuah penentuan pendapat
rakyat yang seratus persen berpihak
kepada satu pihak itu disebut sebuah proses demokratis?
·
Dapatkah Suharto menjalankan sebuah
proses Pepera yang demokratis? Kalau orang Indonesia sekarang menganggapnya
diktator, mengapa mereka tidak bisa mengerti bahwa Pepera 1969 juga penuh
dengan kekerasan militer?
Bukan itu saja, nama Pepera itu
sendiri tidak pernah ada dalam kamus hukum dan politik manapun juga di dunia
ini. Tetapi dalam kasus West Papua, isitilah yang tidak memenuhi syarat hukum
ini dipakai.
· Apakah
karena mereka orang kanibal, primitif, di zaman batu dan karena itu tidak perlu
menggunakan istilah baku?
· Apakah
istilah yang tidak baku secara hukum ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi
NKRI untuk menjajah West Papua?
· Apakah
Pepera yang penuh dengan rekayasa itu bisa menjadi dasar untuk membunuh orang
Papua dan menggali kekayaan alamnya?
Oleh karena itulah, orang Papua
tidak mau bersoal-jawab kekanak-kanakan tentang
· “Terima Otsus apa nggak?”
dan
· “Kalau
terima nggak merdeka ya?
atau
· "Kalau
nolak kamu merdeka ya?”
Ini sama sekali bukan
persoalannya. Dan sama sekali tidak ada kaitan dengan pokok sengketa bangsa
Papua dengan NKRI.
Pokok sengketanya masalah
HAM, hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang universal, bukan sesempit
hubungan West Papua di dalam NKRI dan terima atau menolak Otsus.
6.7
KETUJUH: Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV) (19 November 1969)
Pepera 1969 menjadi dasar bagi
NKRI untuk mengkleim keputusan bangsa Papua dan negara West Papua ke dalam
NKRI, dan Resolusi SU No. 2504 (XXIV)
tanggal 19 November 1969 sebagai alasan hukum untuk menduduki, mengeksploitasi,
membunuh, memperkosa, menyiksa, menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa
dan Tanah Papua.
Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan
skandal itu membuahkan skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak
membahas, tidak menanyakan kepada wakil bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain
dan menerima hasil Pepera 1969 di West Papua. Malahan
amandemen 15 negara Afrika yang dipimpin Ghana atas resolusi ini ditolak
mentah-mentah.
MAKA JELASLAH DISINI,
bahwa: Selain Perjanjian New York, The Rome Joint Statement (Memorandum of
Rome), penyerahan West Papua ke tangan NKRI, Trikora yang penuh dengan
skandal, resolusi 2504 (XXIV) itupun secara de jure tidak pernah menghapus
status West Papua sebagai wilayah dekolonisasi dan mengakuinya sebagai bagian
dari NKRI. Walaupun secara de facto
NKRI ada sampai hari ini, secara de
jure
sama sekali tidak sah. Karena itu
Indonesia sedang menjajah bangsa dan negara yang masih dalam status
dekolonisasi.
Itulah sebabnya, orang Papua
melihat kasus dan konflik NKRI-West Papua:
bukan konflik antara menerima
Otsus atau menolak,
bukan masalah menerima “M”
berarti “O” ditolak dan menerima “O” berarti “M” batal.
bukan berarti mereka yang
menerima “O” pro-integrasi, yaitu musuh orang Papua dan yang menolak musuh NKRI
Sama sekali tidak. Ini
pertentangan yang dangkal, politik yang sempit, dan mandul. Tetapi inilah dasar
yang NKRI gunakan untuk menjajah dan mengatur West Papua serta memaksakan Otsus
dengan intimidasi, teror dan pembantaian.
Jelaslah bahwa kasus pelanggaran
HAM berupa pemerkosaan, penyiksaan, ketidak-adilan, keterbelakangan, kekerasan
militer era orde baru BUKAN POKOK SENGKETANYA. Pokoknya jauh lebih parah dan
lebih hakiki.
Jadi, pokok persoalannya
adalah kasus pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan hukum
internasional yang lebih parah, terarah di dunia, yaitu tragedi pembunuhan hak
kebangsaan dan hak bernegara bangsa Papua dan negara West Papua.
Jadi apa yang mendasari atau
menjadi patokan paksaan Otsus di West Papua adalah limbah politik kotor
tahun 1960-an dan politik kotor 2000-2001 sebagai hasil konspirasi
internasional yang sarat dengan skandal moral kemanusiaan, demokrasi dan hukum.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!