Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Komunike Bersama Tolak Pengesahan RUU Intelejen

Written By Unknown on Jumat, 15 Juli 2011 | 03.47

Kami, 14 Juli 2011

Pembahasan RUU Intelijen saat ini sedang berlangsung di parlemen. Penentuan akan disahkan atau ditunda pengesahan RUU Intelijen kemungkinan akan dilakukan pada rapat paripurna penutupan masa sidang DPR, Jumat 15 Juli 2011, besok.

Melalui press realess yang diterima dari Lembaga The Indonesian Human Right Monitor yang juga tergabung dalam komunike bersama, Kamis (14/7) menyebut,  pengaturan intelijen negara dalam undang-undang memang dibutuhkan dengan tujuan menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen dan dalam memastikan akuntabilitas intelijen. Namun, pengaturan intelijen melalui undang-undang intelijen tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus menjadikan prinsip dan tata nilai demokrasi dan HAM sebagai pijakan dasar di dalamnya.

RUU Intelijen yang dibahas oleh pemerintah dan parlemen saat ini mengandung banyak kelemahan dan permasalahan substansial yang dapat mengancam penegakan hukum dan HAM, serta demokrasi itu sendiri. Setidaknya ada lebih dari 30 pasal bermasalah dalam RUU Intelijen. Apalagi pembahasan RUU Intelijen yang dilakukan oleh Panja RUU Intelijen parlemen belakangan ini justru terkesan tertutup.

Imparsial juga menyebutkan, sikap pemerintah dan sebagian besar anggota parlemen, yang tetap bersikukuh memberikan kewenangan pemeriksaan intensif alias penangkapan kepada Badan Intelijen Negara (BIN), yang di dalamnya juga terdapat intelijen militer (Pasal 15 ayat (1) dan 3 DIM Pemerintah atas RUU Intelijen), tentu akan merusak mekanisme criminal justice system dan dapat membajak sistem penegakan hukum. Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen tersebut sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam undang-undang intelijen, mengingat kerja intelijen yang rahasia dan tertutup. 

Mereka menegaskan, kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum, diantaranya Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya. Dalam konteks itu, badan  intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap.

Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen, menurut komunike, adalah langkah mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa orde baru dimana lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Selain itu, terdapatnya Pasal dalam RUU Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan, tanpa ada penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang peristilahan itu, sehingga jelas ketentuan ini bersifat karet dan multitafsir. Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen, bahwa kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh pemerintah, untuk di masukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum.

“Kami menilai penolakan mekanisme penyadapan melalui ijin pengadilan oleh intelijen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 RUU Intelijen, telah mengancam hak privasi warganegara dan rentan untuk disalahgunakan oleh kekuasaan (abuse of power), kata direktur eksekutif Imparsial Jakarta, Poengky Indarti. Menurut dia, mengacu kepada keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 maka mekanisme penyadapan oleh lembaga negara harus diatur melalui undang-undang tentang penyadapan secara tersendiri.

Lanjut dia, pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen juga masih melahirkan banyak tafsir, yang potensial mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers. RUU Intelijen juga belum mengatur tentang perlindungan hak-hak korban, padahal pengalaman di masa lalu, praktik intelijen hitam, kerap menimbulkan banyak korban, yang tak mendapat rehabilitasi apapun.

Catatan lain dalam rilis itu menyatakan, roh dan jiwa RUU Intelijen saat ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat kepentingan penguasa (pemerintah) dan bukan alat negara yang mengabdikan dirinya untuk  kepentingan rakyat. RUU Intelijen juga tidak selaras dengan dengan norma-norma legal konstitusi sehingga berpotensi berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. RUU Intelijen jauh dari harapan yang seharusnya berlandaskan kepada norma hukum dan Hak Asasi Manusia tetapi malah berpeluang menabrak rambu-rambu Hak Asasi Manusia.

Masih terkait dengan reformasi sektor keamanan, kami juga menilai bahwa RUU Keamanan nasional yang saat ini juga sedang dibahas di DPR, materinya setali tiga uang dengan RUU Intelijen, sebagaimana terlihat dari pemberian kuasa khusus kepada Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI untuk melakukan pemeriksaan, penangkapan dan penyadapan (penjelasan Pasal 54 huruf e jo pasal 20).

Penjelasan tentang Pasal 17 ayat 3 dan 4 dalam RUU Keamanan Nasional tentang ancaman aktual dan potensial sebagai ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan secara sepihak oleh Presiden melalui keputusan Presiden (Pasal 17 ayat (4)). Dengan demikian Presiden dapat menentukan secara sepihak semua hal yang menurutnya mengancam kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. “Itu artinya, bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, aksi mahasiswa, aksi buruh, aksi petani, pers yang kritis, dll dapat dianggap sebagai ancaman aktual dan potensial oleh presiden,” ujar salah anggota komunike.

Data lain dalam siaran pers itu menyebut, lebih dari itu penjelasan tentang bentuk ancaman tidak bersenjata dalam penjelasan Pasal 17 yang mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, ideologi, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi, kebodohan, ketidakadilan,  kemiskinan, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi dll sebagai bentuk ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir, karet dan dapat mengancam kebebasan dan demokrasi. Kurang lebih terdapat 20 Pasal bermasalah yang terdapat dalam RUU Keamanan nasional.

Bertolak dari itu, komike bersama mendesak dua hal kepada pemerintah Jakarta. Pertama, Kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU Intelijen dalam pekan ini. Sudah seharusnya DPR dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat sambil secara bersamaan mengakomodasi masukan dan pandangan masyarakat itu dalam kerangka penyempurnaan draft RUU intelijen. Dengan demikian, undang-undang intelijen benar-benar dapat menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen.

Dua, kepada DPR dan pemerintah untuk merombak total RUU Keamanan Nasional mengingat masih terdapat permasalahan substansial yang dapat mengancam kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan demokrasi.(wp)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!