Diduga Tewaskan 12.397 Orang, Kodam Membantah
“Selain warga sipil, dari data Komnas HAM, ada 50 sampai seratus aparat keamanan juga jadi korban dalam peristiwa itu,” kata Natalis Pigay, anggota Komisioner Komnas HAM kepada SULUH PAPUA, kemarin.
Ia mengatakan, kekerasan tak terbantahkan tersebut pecah setelah kelompok separatis memulainya dengan menembak militer Indonesia pada 1977. “Terjadilah aksi balas membalas, dan warga sipil yang kemudian kena akibatnya,” kata dia.
Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih Papua membantah laporan ‘pembantaian’ besar-besaran di wilayah Wamena. “Saya katakan bahwa peristiwa itu tidak benar, Australia juga kan sendiri membantah itu,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar.
Ia menegaskan, laporan AHCR merupakan kabar Hoaks atau bohong. “TNI tidak pernah melepas bom dari atas heli saat masyarakat dibawah menunggu bantuan, tidak pernah itu terjadi di Indonesia, untuk itu, saya tegaskan sekali lagi, kabar itu tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Soal keterlibatan Australia dan Amerika Serikat dalam insiden itu, kata Natalis Pigay, belum dipastikan. “Namun dari sejumlah data, bahwa terdapat Heli Puma dan bom yang dijatuhkan, menimbulkan kecurigaan pihak asing ikut terlibat,” ujarnya.
Komnas HAM rencananya akan meningkatkan penyelidikan kasus ini dan meneruskannya ke berbagai pihak. “Soal Amerika, ini belum pasti, masih perlu didalami. Dalam peristiwa itu, ada memang bom Napalm diduga dijatuhkan Amerika, itu senjata pemusnah massal yang telah dilarang oleh PBB,” paparnya.
Pigay mengatakan, selain Papua, kekerasan memburuk juga di belahan daerah lain di Indonesia. “Korban di Papua lebih banyak, jumlahnya 12.397 orang,” katanya.
Sementara itu, Departemen Pertahanan Australia, seperti dirilis ABC membantah klaim yang menyebut helikopter Australia digunakan untuk membunuh warga sipil Papua. Sanggahan ini sekaligus menanggapi laporan hasil investigasi selama setahun oleh Komisi HAM Asia (AHRC) mengenai peristiwa pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap 4 ribu warga sipil lebih dari 45 tahun yang lalu.
Dalam pernyataannya, Departemen Pertahanan menegaskan: “Dari tahun 1976 sampai 1981, unit pertahanan terlibat dalam Operasi Cenderawasih untuk melakukan survei dan memetakan Irian Jaya”. “Helikopter Iroquois, Caribou, Canberra serta Hercules C-130 diikutkan dengan bermarkas di Bandara Udara Mokmer di Pulau Biak.”
Juru bicara Departemen Pertahanan Australia bidang luar negeri dan perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan komentar mengenai situasi di Papua pada waktu itu. “Kebijakan pemerintah Australia terhadap Papua sudah jelas: kita mengutuk semua kejahatan terhadap warga sipil maupun kejahatan yang dilancarkan kepada personil keamanan. Situasi HAM saat ini di Papua tidak seperti yang digambarkan didalam laporan AHRC.”
Sebelumnya, hasil penelitian Asian Human Right Commission (AHRC) di Hongkong menyebut, AS dan Australia mendukung militer Indonesia melakukan pembantaian di Papua. Australia mengirim helikopter, sementara AS menyetor pesawat-pesawat tempur. Aksi ‘genosida’ itu dalam rangka membendung usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.
Laporan berjudul “The Neglected Genocide – Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978″ (Pembantaian yang Terabaikan – Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978), yang dirilis AHRC ini belakangan mendapat beragam pendapat.
Penelitian ARHC disimpulkan usai mewawancarai sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini juga mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh oleh militer dan menyatakan jumlah korban tewas akibat kekerasan, lebih dari 10.000 orang. “Saya belum membaca laporan itu, jadi belum bisa berkomentar,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar.
Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan bahwa kekejaman itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida. Termasuk daftar mereka yang bertanggung jawab dan mesti diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.
Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. (JR/R4/lo1)
Sumber : www.suluhpapua.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!