Benny Wenda (http://www.3news.co.nz) |
Suva,10/8(Jubi)-
Nominator penerima Nobel perdamaian dan pendiri Kampanye Papua Merdeka,
Benny Wenda memberikan pernyataan dukungan dan desakan kepada
pemerintah Indonesia, untuk segera membebaskan dua jurnalis Prancis yang
ditangkap di Papua, baru-baru ini.
Menurut
Benny Wenda, dua hari lalu, Militer Indonesia menangkap dua orang
Jurnalis Prancis yang mencoba memberikan informasi kepada dunia, apa
yang sedang terjadi di West Papua.
“Karena
itu, Kami orang West Papua mau mengirim dukungan kepada Thomas Dandois,
Valentine Bourrat dan keluarga mereka yang ada di Prancis,” katanya.
Dirinya
mendoakan agar tidak ada kejahatan yang buruk menimpa mereka, Polisi
Indonesia diminta segera melepaskan mereka dengan aman dan segera.
“Kami menyampaikan terima kasih kepada mereka yang dengan berani dan menceritakan kisah kami,” katanya.
Menurutnya,
sepajang 52 tahun hingga sekarang ini, Militer Indonesia berupaya
menyembunyikan apa yang mereka sedang lakukan di West Papua dan berusaha
menjadikan pihaknya untuk diam.
Karena
itu, lanjutnya, ketika jurnalis luar negeri masuk dan meliput sangat
mengangu mereka. Indonesia tidak mau dunia tahu tentang West Papua.
“Tetapi
dengan keteguhan hati kami dan dukungan yang sedang tumbuh di dalam
diri semua orang di seluruh dunia, akhirnya, setelah 500.000 orang kami
telah dibunuh, kita mendengar wujudnya nanti,” katanya.
Dirinya
juga menyerukan kepada semua orang di seluruh dunia yang percaya kepada
keadilan, kebebasan dan demokrasi, untuk memastikan jurnalis dan media
mendukung dua jurnalis Prancis dan menyampaikan desakan kepada
pemerintah Indonesaia segera melepaskan mereka.
“Kita
hidup ini pada abad ke 21 dan Indonesia masih menangkap jurnalis untuk
memberikan kebenaran”tulis Benny Wenda dalam website
www.freewestpapua.org
Victor
Mambor, ketua Aliansi Jurnalis Indepent (AJI) Papua, berpendapat,
walaupun penangkapan ini sudah masuk ke ranah politik, dalam konteks
kebebasan pers, tindakan aparat keamanan menahan jurnalis asing di
Wamena tidak dapat dibenarkan.
“Karena
peluang wartawan asing mendapat izin meliput di Papua sangat sulit.
Padahal, banyak wartawan asing bebas meliput di kota-kota lain di
Indonesia,” kata Mambor kepada majalahselangkah.com, belum lama ini.
Hal
senada juga dikatakan peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas
Harsono. “Pertanyaannya sederhana. Bila seseorang hendak bikin film
dokumenter, katakanlah, di Makassar atau di Solo, apakah dia akan
ditangkap?” tuturnya dalam wawancara elektronik malam ini, Jumat
(08/08/14).
Menurut Andreas , larangan itu tidak bisa diterima karena secara hukum Papua belum ditetapkan sebagai wilayah konflik.
“Papua,
secara hukum, bukan wilayah konflik karena ia tak dinyatakan dengan
hukum,” katanya pendiri yayasan Pantau yang bergerak pada peningkatan
mutu jurnalisme di Indonesia ini.
Dia
menambahkan, menurut UU Pers tahun 1999, negara boleh membatasi akses
ke suatu daerah di Indonesia dengan alasan-alasan keamanan, tapi harus
dinyatakan dengan undang-undang. “Apakah ada undang-undang yang
menyatakan Papua sebagai daerah darurat militer? Saya kira tidak ada,
sehingga secara hukum, akses wartawan asing ke Papua seharusnya sama
dengan akses ke Makassar atau Solo karena di daerah lain juga ada
kriminalitas. Papua, Makassar dan Solo harus dianggap kriminalitas saja
bila terjadi kekerasan” katanya.
Ia
lebih lanjut menjelaskan, Dewan Pers pernah menyatakan bahwa akses
wartawan asing ke Papua harus diberlakukan sama dengan provinsi-provinsi
lain karena tak boleh ada diskriminasi di Indonesia. Prakteknya, sejak
1963, naik dan turun, selalu ada pembatasan akses wartawan dan peneliti
internasional ke Papua. (Jubi/Mawel)
Sumber : http://tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!