Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

BOIKOT PROKLAMASI 17 AGUSTUA 2014 DI PAPUA BARAT

Written By Unknown on Sabtu, 26 Juli 2014 | 20.37

Keberhasilan boikot Pilpres Indonesia diatas teritori West Papua adalah manifestasi dari sikap anti kolonialisme yang dilakukan secara sadar oleh rakyat West Papua. Boikot kita selanjutnya adalah terhadap perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-69 diatas teritori West Papua.
Sudah setengah abad lebih kita dipaksa memiliki ideologi dan nasionalisme Indonesia yang tidak pernah diwariskan atau dilahirkan oleh leluhur kita. Kita tahu, kita tidak pernah dimasukan, apalagi ikut serta, dalam sejarah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Bangsa Papua tidak pernah ada dalam sejarah pembentukan negara yang bernama Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bersikap menolak! Menolak segala menipulasi dan hegemoni kolonial Indonesia.
Kami menyeruhkan kepada rakyat West Papua, yang ada diatas teritori West Papua, maupun diluar West Papua, agar tidak ikut serta menyukseskan, apalagi merayakan, kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa yang bermartabat, kita juga tetap menghargai dan tidak mengganggu perayaan kemerdekaan mereka (bangsa Indonesia) pada 17 Agustus mendatang. Dan sebaliknya, Indonesia harus menghargai sikap bangsa Papua untuk boikot HUT RI di West Papua.
Kami menyerukan kepada segenap rakyat West Papua agar mengajak dan mengajar kebenaran sejarah kepada sesama keluarga, suku dan bangsamu bahwa bangsa Papua memiliki sejarah kemerdekaannya sendiri tanpa Indonesia. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dihasut, dibodohi, atau disogok untuk terlibat secara terus menerus dalam perayaan kemerdekaan 17 Agustus.
Sudah waktunya kita menunjukkan sejarah yang benar kepada penguasa kolonial Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia bahwa bangsa Papua siap untuk bernegara sendiri, berlandaskan pada ideologi dan nasionalismenya sendiri. Penolakan terhadap pendudukan kolonial Indonesia dan segala praktek penjajahannya harus dilakukan dengan sikap boikot tanpa kekerasan.
Kita harus mengakhiri!
Dikeluarkan di Port Numbay, 19 Juli 2014

Victor F. Yeimo
Ketua KNPB


Tembusan kepada:
1.           Buchtar Tabuni, Ketua Parlemen Nasional West Papua [PNWP]
2.           Ketua-Ketua Parlemen Rakyat Daerah di West Papua
3.           Benny Wenda, Koordinator Diplomat Internasional bagi West Papua
4.           Goliat Tabuni, Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN.PB)




20.37 | 0 komentar

The Guardian Draws Attention To Colonial Attitude Towards West Papua

Written By Unknown on Senin, 21 Juli 2014 | 15.29

In an article published on 15 July 2014 in The Guardian, Morgan Godfery draws attention to the exploitation and colonial attitude of Indonesia towards West Papua – a mineral rich region annexed by Indonesia in 1960, without the consent of its indigenous population. Mentioning recent arrests and ill-treatment of West Papuans handing out leaflets encouraging a boycott of last week’s presidential election, the article refers to UNPO who strongly supports the right to self-determination of the Papuan people through advocacy, diplomacy and nonviolent action.
Below is the article published in The Guardian :

Orwell would recognise the logic of postcolonialism at play in West Papua.

In many respects, the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation.
Few people know that George Orwell, better known as the author of the dystopian novel 1984, is one of the earlier founders of postcolonial studies. Orwell’s best known contribution to the field is Burmese Days, but his earliest contribution was How a Nation Is Exploited – The British Empire in Burma. Published in the French journal Le Progrès civique, Orwell describes how the land, labour and resources of one country – that is, Burma - are used to finance the industrial development of another – in this case, Britain. Care is taken to avoid technical and industrial training [in Burma]. This rule, observed throughout India, aims to stop India from becoming an industrial country capable of competing with England. 
The role of the colony, then, is under-development for the sake of the coloniser’s development. This is the logic of colonialism.
One might think this is merely of historical interest. If only. There is a newly industrialised country on our doorstep and it is using a colony to finance its growth. Orwell would recognise the coloniser – Indonesia – and the logic of colonialism in the West Papua region.
Indonesia annexed West Papua in the 1960s. Thus began and thus continues the deadliest postcolonial struggle in Oceania. In the past half century the Indonesian security forces have killed as many as 500,000 West Papuans. Last year the Asian Human Rights Commission released. The Neglected Genocide, a report on atrocities committed in 1977 and 1978. Survivors describe how they escaped the killing fields while others recount their run-ins with the torture squads. Violence wasn’t just something that happened in West Papua, it was a form of government. One would hope that, some 40 years later, things have improved. It doesn’t seem so. According to the Free West Papua Movement a local independence leader was shot dead on his motorcycle in June. The UNPO reports that local democracy activists have been beaten and arrested for handing out leaflets encouraging West Papuans to boycott last week’s presidential election. In the run up to the election the security forces were put on full alert.
But why does Indonesia cling to West Papua? The basis of Indonesia’s claim to sovereignty is the farcical Act of Free Choice”in 1969. The act was a nominal referendum where a little over 1000 men – less than 1% of the eligible voting population - agreed to transfer sovereignty to Indonesia. The result was controlled - an act of forced choice – with the military carefully selecting and coercing the participants. The Indonesian government has exercised its claim to sovereignty at the end of an assault rifle ever since.
But that claim is only a convenience. West Papuans are ethnically Melanesian and geographically part of Oceania – Jakarta acknowledges this much – but, importantly, the West Papua region is home to the world’s largest goldmine, third largest copper mine and rich mineral deposits. Freeport-McMoRan, the American company that operates the Grasberg mine, is Indonesia’s largest taxpayer. The company has contributed more than $12 billion to Jakarta’s coffers since 1991. Rather than relying on private security at the mine, Freeport-McMoRan pays the Indonesian security forces. Jakarta is happy to oblige.
Orwell would recognise the logic of colonialism here. West Papua has largely missed the Indonesian industrial revolution, instead being compelled to finance it. In many respects the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation.
Former Australian prime minister Robert Menzies warned of as much in the 1960s when he said that Indonesian control of West Papua would merely substitute white colonialism for “brown colonialism”. We did not listen then, will we listen now?

15.29 | 0 komentar

SAUL BOMAY: NFRPB BAGIAN DARI INDONESIA

Yusak Pakage dan Saul Bomay (Jubi/Aprila)
Jayapura, 20/7 (Jubi) – Mantan Tahanan Politik (Tapol), Saul Bomay yang mengklaim diri sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) menganggap Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) sebagai negara bagian dari Republik Indonesia.
“Forkorus Yaboisembut Cs adalah teman seperjuangan saya dengan perahu yang berbeda. Perjuangan NFRPB adalah perjuangan lain. Kami inginkan kemerdekaan dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berbeda dengan mereka karena negara federal berarti masih sebagai bagian dari Indonesia, sama halnya dengan daerah otonom,” ungkap Saul dalam jumpa pers yang digelar di Prima Garden Caffee, Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (19/7).
Menurut Saul, perjuangan yang murni adalah perjuangan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), sedangkan organisasi yang lain kemungkinan besar masih ada yang menyusup dengan kepentingan politik yang berbeda.
Saul mengharapkan kepada seluruh organisasi seperjuangan untuk merapatkan barisan dan kembali bergabung dengan TPN-OPM karena garis perjuangan TPN-OPM.
Senada dengan Saul, Yusak Pakage yang juga mantan Tapol Papua menegaskan, kalau NFRPB, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Parlemen Jalanan (Parjal) dan elemen-elemen gerakan lain yang ada saat ini sudah tidak lagi murni untuk memperjuangkan Papua Merdeka.
“Stop tipu masyarakat Papua. Sekarang perjuangan organisasi- organisasi pro Papua merdeka sudah banyak penyusup, baik dari TNI, maupun Polri, termasuk pada NFRPB. Saya sudah kasih tahu mereka di facebook untuk stop bicara Papua merdeka. Kalau mau perjuangan murni, mari rapatkan perjuanagan dengan TPN-OPM,” ajak Yusak.

Menurut Yusak, kalau mau cari pekerjaan langsung saja bicara dengan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe atau ketemu langsung dengan pemerintah Indonesia yang menurutnya pasti akan diberi pekerjaan oleh pemerintah. (Jubi/Aprila)

15.02 | 0 komentar

PEPERA 1969 TIDAK DEMOKRATIS! HAK MENENTUKAN NASIB, SOLUSI BAGI RAKYAT PAPUA

Jayapura, 21/7 (Jubi) – Press Release ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]
“PEPERA 1969 Tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”
Aksi mahasiswa Papua di depan Patung Kuda
 Jalan Pahlawan Kota Semarang (IST)
Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas  wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Praktek yang kemudian diterapkan Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi prokemerdekaan Papua. Militer menjadi tameng yang reaksioner dan kesenjangan sosial/kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Didasari kenyataan sejarah akan hak politik rakyat Papua yang dibungkam dan keinginan yang mulia rakyat Papua untuk bebas dan merdeka diatas Tanah Airnya, maka dalam peringatan 44 tahun PEPERA yang tidak  demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut rezim fasis SBY-Boediono dan PBB untuk segera ;

- Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
- Menutup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
- Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.

Demikian press release ini dibuat, kami akan terus menyuarakan perlawanan atas segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan Tanah Air Papua hingga rakyat Papua memperoleh kemenangan sejati. Atas kerja sama Kawan-kawan jurnalis untuk memberitakan aksi ini, kami ucapkan jabat erat.
Salam Demokrasi!
Semarang Selasa 15 Juli 2014
Jubir Aksi
Bernardo Boma
Cacatan
Semarang Puluh Mahasiswa Papua yang  tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Semarang, menggelar aksi damai hari ini, Selasa (15/Juli/2014), Depan Patung Kuda Jalan Pahlawan Kota Semarang jawa 10 balik jam 12.00 . Aksi damai ini dilakukan guna memprotes pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis dan cacat hukum Internasional.


Kordinator aksi Johanis Tsenawatme

14.58 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman