Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Orang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena

Written By PAPUAtimes on Kamis, 03 November 2016 | 05.21

Ruko di Jl. Trans Irian Pikhe, Kampung Likino Distrik Hubukiak,
Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Ronny - SP)
Wamena — Orang non Papua terus menguasai kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan membangun toko dan kios yang dulunya hanya terpusat di kota Wamena, kini terus kuasai hingga ke pinggiran kota Wamena.
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius. (Ronny)
05.21 | 0 komentar

Kitab Suci, Rohaniwan dan Penjajahan di Papua

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
Oleh: Mbagimendoga Uligi
Rohaniwan yang memikul Kitab Suci sedang menghambur-hamburkan ayat-ayat Kitab Suci tanpa makna Teologi di Papua. Para Rohaniwan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk memuji-muji pemerintah, menginjak-injak jemaatnya dengan cara mengajak jemaat tunduk kepada pemerintah.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah,” khotbah para Rohaniwan mengutip surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm 13:1-3) di media-media lokal di Papua sejak 50 tahun lalu.
Soalnya, sejak kapan Allah menetapkan pemerintahnya di Papua? Apakah benar pemerintah Indonesia di Papua ditetapkan Allah? Apa indikator pemerintah Indonesia di Papua suatu pemerintahan yang ditetapkan Allah? Pemerintah yang ada suatu penetapan Ilahi adalah satu omong kosong para Rohaniwan. Rohaniwan asal mengutip dan mengajar surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini untuk Jemaat di Papua.
Karena asal mengutip, seorang Rohaniwan yang mestinya bertugas mengajak dan menuntun jemaatnya keluar dari lingkaran setan kekuasaan yang menindas dan membunuh malah mengajak jemaat menerima perilaku pemerintah yang barbar. Rohaniwan lanjut mengutipnya begini: “Sebab itu, barang siapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah, dan barang siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya.”
Kutipan ini jelas-jelas sang Rohaniwa menutup mata dengan pembunuhan orang Papua atas nama penerapan hukum Negara kesatuan Republik Indonesia di Papua. Pembunuhan atas keutuhan Negara dianggap lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keutuhan perpuluhan imbalan dari khotbahnya lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keberlanjutan pendudukan dengan bedil dianggap lebih penting daripada penghabisan umat Tuhan.
“Khotbah yang mementingkan perpuluhan itu wajah Gereja yang memeras dan menjajah umat Tuhan atas nama iman. Rohaniwan menjual ayat-ayat Kitab Suci,” ujar Yulaghap Yuwukha.
Rohaniwan macam ini kalau dibaca dalam kerangka kitab Perjanjian Lama: Nabi-nabi murni dan nabi-nabi palsu atau nabi pemerintah. Nabi murni dan pemerintah sangatlah beda dari asal usul hingga kepentingan dari khotbahnya. Nabi-nabi murni muncul secara alami. Tidak ada pengangkatan atau pelantikan sebagai nabi. Kehidupannya bisa saja sama seperti masyarakat lain. Kerja kebun dan mengurus keluarganya. Kemudian menyampaikan ilham dengan situasi sosial politik dan keagamaan yang berlangsung kepada masyarakat.
Nabi-nabi pemerintah adalah nabi-nabi yang dilantik dan diakui pemerintah supaya menafsir dan mendoakan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Karena itu, Rohaniwan macam ini yang dibawa-bawa untuk mendoakan acara-acara pemerintah. Mereka menyampaikan khotbah-khotbah sesuai dengan kebutuhan pemerintah.
Kita kembali ke Surat Paulus. Para Rohaniwam memang sangat tidak salah mengutipnya surat sang Rasul. Hanya, para Rohaniwan ini mengutip ayat itu tanpa melihat konteks Rasul Paulus menulis surat itu kepada Jemaat di Roma. Rohaniwan mengutip ayat itu begitu saja, lalu memuntahkannya kepada Jemaat. Jemaat yang aman dengan Kitab Suci mengamininya atau menolaknya, namun tidak pernah tunjukkan penolakannya.
Supaya kena konteks, para Rohaniwa mestinya membaca ayat itu dalam konteks jemaat Kristen di Roma atau membacakannya dalam konteks Jemaat Kristen di Papua. Kalau bicara konteks Jemaat Roma, waktu itu Jemaat di Roma berada dalam tekanan pengejaran dan pembunuhan dari orang Yahudi dan orang Roma yang tidak beragama Kristen maupun konflik internal komunitas Yahudi yang menganut Kristen waktu itu.
Karena itu, dalam konteks itu, Paulus menulis surat untuk mengajak Jemaat Roma tetap beriman kepada Yesus dengan nasehat-nasehatnya. Ia menasehati supaya tetap melihat Injil sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan, bukan hukum Yahudi atapun pemerintahan yang berkuasa. Paulus menekan saling melayani dalam kerendahan hati sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus.
Ketika menafsir ayat pilihan kaum penjajah itu, Teolog asal Belanda, Groenen OFM mengatakan, memang ayat itu menjadi nasehat Paulus soal hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif. Penilaian positif menjadi penekanan utama dan mesti dimengerti dalam kerangka teologi Paulus dalam Surat Roma.
Sudah tersirat jelas, menurut Gronen, Teologi Paulus dalam Surat Roma dapat dirumuskan “melalui pewartaan Injil semua orang berdosa dibenarkan Allah karena percaya kepada Yesus”. Percaya terhadap misi Yesus historis maupun imanen. Misi Yesus historis sudah jelas memperjuangkan pembebasan manusia. Yesus berjuang membebaskan manusia dari egoisme menguasai dan memeras yang terjadi dalam pemerintahan kekaisaran Romawi yang berkuasa ketika Yesus memperjuangkan pembebasan.
Ketika berbicara konsep suatu Negara, Agustinus, Uskup Hipo, dalam bukunya “City Of God”, menguraikan konsep Negara dan hubungan pemerintahan dan rakyat. Agustinus membedakan negara menjadi dua: negara Surgawi dan negara Duniawi. Agustinus mengatakan, negara Duniawi diperintah oleh manusia. Manusia memimpin dan memerintah penuh dengan keegoisan, kebencian, kejahatan, dan peperangan.
Konsep sebaliknya, Agustinus menggambarkan negara Surgawi dipimpin dan diperintah oleh Allah. Allah memimpin dan memerintah negaranya penuh kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. Singkatnya, negara Surgawi diperintah Allah dengan cinta dan pelayanan, serta negara sekular diperintah oleh manusia penuh kebencian demi cinta dirinya.
Kalau begitu, apakah negara Surgawi itu identik dengan lembaga Gereja tempat para Rohaniwan mengadu nasib dan negara Duniawi itu identik dengan lembaga negara pemerintah? Agustinus tidak mempersoalkan konsep kedua negara sebagai lembaga organisasi Gereja dan politik, melainkan sebagai cara hidup. Cara hidup yang ditunjukkan oleh manusia pertama, Adam dan Hawa, Kain dan Habel, yang kemudian diwariskan kepada kita. Kita menerima dan meneruskan warisan itu dalam hidup kita sebagai manusia yang mencintai kejahatan dan kebaikan. Kejahatan sebagai hakikat dari negara sekular dan kebaikan sebagai negara surgawi.
Penggambaran itu menjadi jelas kalau hubungan pemerintah Indonesia dan Jemaat di Papua sudah negatif dengan kejahatan Negara sebagai satu cara hidup, apa artinya para Rohaniwan mengajak jemaat tentang ketaatan terhadap pemerintah? Apakah hubungan positif para Rohaniwan yang makmur dan sejahtera harus menjadi ukuran Jemaat yang menderita, yang punya hubungan negatif harus tunduk kepada pemerintah? Ataukah Jemaat harus menderita demi hubungan positif Rohaniwan dengan Negara?
Penulis adalah tukang angkat barang di pelabuhan Port Numbay, tinggal di Hollandia.

Sumber : www.suarapapua.com

05.15 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman