Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Lagu "Jangan Diam Papua" Direkam

Written By Unknown on Selasa, 29 Oktober 2013 | 18.41

Tampak ketika Erda Kurniawan memberikan
 arahan kepada Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Yogyakarta,
 pada sesi latihan untuk lagu "Jangan Diam Papua"
Yogyakarta -- 'Ilalang Zaman', begitulah salah satu nama group band yang bermarkas di Yogyakarta. 
Group ini adalah band multigendre yang beranggotakan tiga orang di antaranya, Yap Sarpote (Drummer), Sabina Thipani (Vocalis, Bass) dan Erda Kurniawan (Vicalis, Gitaris). 
Ilalang Zaman dibentuk untuk melakukan kritik sosial melalui tembang-tembang yang mereka ciptakan. 
Dari sekian banyak lagu yang diciptakan, salah satunya adalah mengkritisi ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua sejak awal tahun 1960-an silam. Adalah "Jangan Diam Papua". 
Lagu "Jangan Diam Papua", bersama lagu lainnya seperti, "Persetan Media, Apa yang Kita Rayakan?"dan "Kalimantan (Tak kan Tunduk, akan Lawan)" berhasil direkam 'Ilalang Zaman' bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta di salah satu Studio Mini Condong Catur, Yogyakarta, Minggu (27/10/2013) sore.
Empat lagu lainnya, "Palestina", "Jurnalis Palsu", "Sesaji Raja untuk Dewa Kapital" dan "Not for Sale" masih dalam rekapan untuk direkam dalam waktu dekat.
Lagu "Jangan Diam Papua" sebelumnya dinyanyikan dalam acara-acara bernuansa kemanusiaan. Ia telah berhasil menarik perhatian bagi warga Papua maupun pecinta musik tanah air yang mendambakan keadilan.
"Lagu ini kami ciptakan untuk memberikan semangat kebangkitan kepada masyarakat Papua dengan ketidakadilan yang dialami rakyat Papua," tutur Yap Sarpote, pencipta lagu "Jangan Diam Papua" kepada majalahselangkah.com usai rekaman.  
Kata Yap, pada umumnya kebanyakan orang membahas Papua yang  eksotis, namun penindasan serta penderitaan manusia Papua karena eksploitasi sumber daya alam dan ekspansi industrialisasi tidak pernah dimunculkan di permukaan. 
Sehingga,Yap dan teman-temannya bertekad untuk merekam lagu ini agar orang lain mengetahui kenyataan yang dialami orang Papua. 
Ia berkisah, lagu "Jangan Diam Papuadiciptakan belum lama ini. Pertama-tama lagu itu dinyanyikan pada saat memperingati hari Uncen Berdarah di Purna Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Berikutnya pada saat penggalangan dana tragedi Tambrauw.
Menurut Yap, "Jangan Diam Papuadiciptakan bukan untuk mendukung Papua Merdeka, namun sebagai bentuk solidaritas terhadap masyarakat Papua yang sedang dalam penindasan untuk bangkit melawan penindasan itu.
"Saat kami (Ilalang Zaman, red.) merancang lagu ini, kami lebih dulu letakkan nasionalisme buta yang melekat dalam diri, karena kami tumbuh dalam latar belakang dan kebudayaan yang dikonstruksi oleh media mainstream di Indonesia ini," kata dia. 
Yap menjelaskan, "Kami harus memandang perlawanan rakyat Papua terhadap penindasan, eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain sebagai hal yang layak dilakukan demi membebaskan hidup orang Papua." 

Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta bersama teman-temannya ini menciptakan banyak lagu sebagai bentuk solidaritas antar manusia. 


"Yang jelas kami tidak memihak kepada salah satu pihak. Apakah Rakyat Papua mau tetap bersama Indonesia atau memilih untuk merdeka lepas dari Indonesia itu adalah hak masyarakat Papua," katanya menanggapi politik Papua.

Harapan Yab bersama dua rekannya adalah bila masyarakat bangkit dan melawan berarti hasil karya 'Ilalang Zaman' berhasil.
"Lagu-lagu Ilalang Zaman sendiri dibuat sebagai musik tandingan bagi musik-musik mainstream dewasa ini di Indonesia yang tidak lagi berbicara tentang derita sosial, sehingga kalau masyarakat terinspirasi untuk melawan berarti karya kami berhasil," ungkapnya. (MS/Mateus Ch. Auwe)

18.41 | 0 komentar

Laporan Asian Human Right Commission (AHRC) Tentang Pelanggaran HAM di Pegunungan Tengah Papua Tahun 1977 – 1978

Written By Unknown on Minggu, 27 Oktober 2013 | 01.27

Diduga Tewaskan 12.397 Orang, Kodam Membantah

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia membenarkan sebuah laporan terbaru yang memberi fakta terjadinya pembantaian massal di wilayah Pegunungan Tengah Papua pada tahun 1977 hingga 1978. Laporan itu menyudutkan militer sebagai pelaku utama.
“Selain warga sipil, dari data Komnas HAM, ada 50 sampai seratus aparat keamanan juga jadi korban dalam peristiwa itu,” kata Natalis Pigay, anggota Komisioner Komnas HAM kepada SULUH PAPUA, kemarin.
Ia mengatakan, kekerasan tak terbantahkan tersebut pecah setelah kelompok separatis memulainya dengan menembak militer Indonesia pada 1977. “Terjadilah aksi balas membalas, dan warga sipil yang kemudian kena akibatnya,” kata dia.
Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih Papua membantah laporan ‘pembantaian’ besar-besaran di wilayah Wamena. “Saya katakan bahwa peristiwa itu tidak benar, Australia juga kan sendiri membantah itu,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar.
Ia menegaskan, laporan AHCR merupakan kabar Hoaks atau bohong. “TNI tidak pernah melepas bom dari atas heli saat masyarakat dibawah menunggu bantuan, tidak pernah itu terjadi di Indonesia, untuk itu, saya tegaskan sekali lagi, kabar itu tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Soal keterlibatan Australia dan Amerika Serikat dalam insiden itu, kata Natalis Pigay, belum dipastikan. “Namun dari sejumlah data, bahwa terdapat Heli Puma dan bom yang dijatuhkan, menimbulkan kecurigaan pihak asing ikut terlibat,” ujarnya.
Komnas HAM rencananya akan meningkatkan penyelidikan kasus ini dan meneruskannya ke berbagai pihak. “Soal Amerika, ini belum pasti, masih perlu didalami. Dalam peristiwa itu, ada memang bom Napalm diduga dijatuhkan Amerika, itu senjata pemusnah massal yang telah dilarang oleh PBB,” paparnya.
Pigay mengatakan, selain Papua, kekerasan memburuk juga di belahan daerah lain di Indonesia. “Korban di Papua lebih banyak, jumlahnya 12.397 orang,” katanya.
Sementara itu, Departemen Pertahanan Australia, seperti dirilis ABC membantah klaim yang menyebut helikopter Australia digunakan untuk membunuh warga sipil Papua. Sanggahan ini sekaligus menanggapi laporan hasil investigasi selama setahun oleh Komisi HAM Asia (AHRC) mengenai peristiwa pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap 4 ribu warga sipil lebih dari 45 tahun yang lalu.
Dalam pernyataannya, Departemen Pertahanan menegaskan: “Dari tahun 1976 sampai 1981, unit pertahanan  terlibat dalam  Operasi Cenderawasih untuk  melakukan survei dan memetakan Irian Jaya”. “Helikopter  Iroquois, Caribou, Canberra serta Hercules C-130 diikutkan dengan bermarkas di Bandara Udara Mokmer di Pulau Biak.”
Juru bicara Departemen Pertahanan Australia bidang luar negeri dan perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan komentar mengenai situasi di Papua pada waktu itu. “Kebijakan pemerintah Australia terhadap Papua sudah jelas: kita mengutuk semua kejahatan terhadap warga sipil maupun kejahatan yang dilancarkan kepada personil keamanan. Situasi HAM saat ini di Papua tidak seperti yang digambarkan didalam laporan AHRC.”
Sebelumnya, hasil penelitian Asian Human Right Commission (AHRC) di Hongkong menyebut, AS dan Australia mendukung militer Indonesia melakukan pembantaian di Papua. Australia mengirim helikopter, sementara AS menyetor pesawat-pesawat tempur. Aksi ‘genosida’ itu dalam rangka membendung usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.
Laporan berjudul “The Neglected Genocide – Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978″ (Pembantaian yang Terabaikan – Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978), yang dirilis AHRC ini belakangan mendapat beragam pendapat.
Penelitian ARHC disimpulkan usai mewawancarai sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini juga mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh oleh militer dan menyatakan jumlah korban tewas akibat kekerasan, lebih dari 10.000 orang. “Saya belum membaca laporan itu, jadi belum bisa berkomentar,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar.
Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan bahwa kekejaman itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida. Termasuk daftar mereka yang bertanggung jawab dan mesti diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.
Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. (JR/R4/lo1
01.27 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman