Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pernyataan Kabid Humas Polda DIY Harus Dibuktikan Pada Tanggal 15 Agustus Mendatang

Written By Unknown on Selasa, 12 Agustus 2014 | 07.22

Massa AMP Saat Membacakan Pernyataan Sikap (Doc:AMP)
Pasca terjadinya bentrokan antara massa Paksi Katon dan massa Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] di Jl. Kusumanegara, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 06 Agustus 2014, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua belah pihak,  Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) lewat kabit humasnya AKBP Anny Pujiastuti menyesalkan kejadian tersebut, seperti yang diberitakan oleh http://beritajogja.co.id pada tanggal 07/08/2014 “Ormas nggak boleh menghadang demonstrasi, Sweeping aja nggak boleh, apalagi menghadang,” kata kabid humas Polda DIY ketika ditemui wartawan berita jogja di kantor Polda DIY.

Dalam pernyataannya, kabid humas Polda DIY juga menyatakan bahwa “Sekarang selama itu tidak memprovokasi, mengajak masyarakat melawan pemerintah yang sah, atau pidana hukum kita tidak bisa. Kalau aksi merusak pun tidak boleh main hakim sendiri,”dikutip dari http://beritajogja.co.id.

Pernyataan serupa sebenarnya juga pernah disampaikan oleh kabid humas polda AKBP Anny Pujiastuti, ketika Paksi Katon kembali menghadang aksi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], saat menggelar aksi pada tanggal 14 Juli 2014 silam. Ketika itu, massa aksi AMP dihadang oleh massa Paksi Katon di Jl. Kusumanegara, ketika hendak menuju titik nol KM (Kantor Pos Besar), Malioboro, namun aksi tersebut dihadang oleh Paksi Katon, sehingga massa AMP hanya bisa menggelar aksi di tempat penghadangan hingga selesai.

Aksi penghadangan yang dilakukan oleh massa Paksi Katon pada tanggal 15 Juli 2014, ternyata sampai juga ke telinga Polda DIY, sehinggo Polda DIY lewat Kabid Humas Polda mengeluarkan pernyataan penyesalan atas apa yang dilakukan Paksi Katon terhadap aksi AMP.

Namun sayangnya, pernyataan penyesalan yang disampaikan oleh Polda DIY pada tanggal 15 Juli 2014 itu, terkesan hanyalah upaya Polda DIY untuk mencuci tangan atau melakukan pencitraan belaka, sebab jika memang Polda DIY menyesalkan dan bahkan menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh Paksi Katon, dalam menghadang aksi AMP, yang jelas-jelas telah membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di Yogyakarta, maka sudah seharusnya pernyataan tersebut tidak hanya sekedar pernyataan belaka saja, namun seharusnya pernyataan Kabid Humas Polda DIY itu, dapat menjadi pegangan bagi anggotanya yang ditugaskan untuk mengawal aksi-aksi AMP di hari-hari selanjutnya.

Tetapi nyatanya, tindakan aparat kepolisian yang bertugas dilapangan , saat Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menggelar aksi pada tanggal 06 Agustus 2014 tidak sesuai dengan pernyataan Kabid Humas Polda pada tanggal 15 Juli 2014. Dimana pada tanggal 06 Agustus, ketika massa AMP hendak menggelar aksi untuk mengemukanan Aspirasi Rakyat Papua di mukan umum, dan hendak menyampaikan kondisi terkini yang ada di Papua, massa Paksi Katon kembali melakukan penghadangan terhadap massa aksi AMP, tepatnya di titik yang sama ketika penghadangan pada tanggal 15 Juli 2014.

Melihat penghadangan yang dilakukan oleh Paksi Katon, massa AMP akhirnya melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian yang saat ini telah banyak dilokasi penghadangan, namun dalam negosiasi pertama, tidak dicapai kesepakatan antara kepolisian dan negosiator AMP, sehingga negosiator AMP memberikan waktu 5 menit kepada kepolisian untuk bernegosiasi dengan pihak Paksi Katon. 5 Berakhir, negosiator AMP kembali mendatangi kepolisian dan bertanya terkait negosiasi yang dilakukan antara Polisi dan Paksi Katon, namun dalam negosiasi kedua tersebut, kepolisian tidak memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga negosiator AMP mempertanyakan apakah massa Paksi Katon memiliki surat izin untuk menggelar aksi atau tidak ? namun pernyataan kepolisian justru sangat aneh, dimana kepolisian seakan menantang menyatakan "Jika mereka tidak memiliki surat Izin aksi gimana ?" kata komandan lapangan polisi yang bertugas saat itu. Mendengar pernyataan tersebut, negosiator AMP menyatakan bahwa "saya hanya dipercayakan oleh kawan-kawan saya untuk melakukan negosiasi dengan batasan waktu yang sudah ditentukan, dan jika negosiasi ini tidak dicapai kesepakatan, maka sepenuhnya saya serahkan kepada massa aksi," kata negosiator AMP, sambil berjalan menyampaikan hasil negosiasi kepada massa aksi.

Karena tidak adanya kesepakatan yang dicapai antara negosiato AMP, Kepolisian dan Paksi Katon, maka kericuhanpun tidak dapat terhindarkan lagi, massa AMP yang sudah bertahan untuk terus menggelar aksi hingga titik Nol kilo meter, sesuai surat pemberitahuan yang diberikan kepada kepolisian resort kota Yogyakarta, akhirnya mendobrak balikade kepolisian dan bentrokan antara massa AMP dan Paksi Katonpun terjadi seketika itu juga.

Dalam bentrokan yang terjadi, sebanyak 5 orang massa AMP menjadi korban akibat bentrokan yang terjadi saat itu, dimana dua orang terkena pukulan aparat polisi dan paksi katon, satu lagi terkena tembakan peluru karet, satu orang lainnya terkena injakan sepatu laras polisi, serta satu orang yang bertugas sebagi negosiator saat itu digorok dengan sebuah pisau di bagian leher oleh massa Paksi Katon. Bentrokan yang terjadi saat itu, polisi yang ada justru ikut menyerang massa aksi AMP, dengan melakukan pemukulan terhadap sejumlah massa aksi AMP, dan bahkan mengeluarkan tembakan peluru karet, yang diarahkan kepada sala satu massa aksi AMP.

Dengan melihat kronologis singkat terjadinya bentrokan antara massa aksi AMP dan massa Paksi Katon pada tanggal 06 agustus lalu, dan dengan melihat rentetan penghadangan yang terus dilakukan oleh massa Paksi Katon terhadap aksi AMP, serta dengan melihat sikap kepolisian yang tidak dapat berbuat apa-apa saat melihat penghadangan aksi AMP oleh Paksi Katon, maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan Kabid Humas Polda DIY kepada wartawan hanyalah sebuah ungkapan yang dikeluarkan oleh pihak Polda DIY, untuk melakukan pencucian tangan, demi melakukan sebuah pencitraan belaka!.

Untuk itu, jika memang apa yang dinyatakan oleh Polda DIY kepada wartawan  http://beritajogja.co.id pada tanggal 15 Juli 2014 dan 06 Agustus 2014 adalah merupakan sikap Polda DIY dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi di Yogyakarta, maka kami menantang seluruh Jajaran Kepolisian Daerah Istimewah Yogyakarta (Polda DIY), untum membuktikan pernyataannya kepada wartawan pada tanggal 15 Agustus 2014 mendatang, saat Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menggelar aksi peringati 52 Tahun New York Agreement. [rk]

Sumber : http://www.opinipapua.tk
07.22 | 0 komentar

Orang Papua Tidak Pernah Berjuang Untuk Indonesia Merdeka

Mengapa KNPB menyerukan kepada orang Papua untuk memboikot atau tidak ikut serta dalam perayaan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2014? Jawabannya karena tidak pernah orang Papua berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Mari kita cermati sejarah.

Sejarah Perjuangan Indonesia dan Perjuangan Papua Barat membuktikan bahwa, Indonesia masa perjuangan sampai dengan proklamasi kemerdekaan wilayah teritorial atau batas negara  Indonesia (Sabang sampai di Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.  Sedangkan, kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908, Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan  musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah  bangsa Negroid, ras Melanesia, maka  biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).  Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat. (Catatan Ones Suhuniap, Sekretaris Umm KNPB)
Sejak Indonesia mencaplok dan menganeksasi wilayah teritori West Papua pada tahun 1962, Indonesia terus memaksakan nasionalisme Indonesia kepada orang Papua yang berbeda sejarah tadi. Saat ini, pejabat-pejabat Papua yang sedang mengabdi dan menjadi budak penguasa kolonial  sedang memaksa rakyat untuk merayakan kemerdekaan 17 Agustus 2014. Mereka paksa orang Papua untk kibarkan bendera Merah Putih, sebuah bendera yang tidak pernah ada dalam sejarah perjuangan bangsa Papua.
KNPB telah menghimbau orang Papua untuk tidak terlibat dalam merayakannya. Orang Papua tidak perlu ikut-ikutan dalam sejarah milik bangsa lain. Orang Papua harus berdiri pada sejarahnya sendiri. KNPB menghimbau rakyat untuk tidak terhasut dengan rayuan penjajah, karena orang Papua harus menentukan nasibnya sendiri tanpa ditentukan oleh Indonesia.
03.55 | 0 komentar

Polres Asmat Kembali Melakukan Penangkapan Terhadap Pengurus Dan Anggota KNPB Wilayah Asmat

Polisi Saat Menangkap Anggota KNPB Asmat
KNPB ASMAT Senin 11 Agustus 2014. Kepolisian Indonesia Polres Asmat kembali melakukan penangkapan terhadap pengurus dan anggota KNPB Asmat, dan sedang melakukan intogasi di kapolres asmat pagi menjelang siang ini.



Ibu Panggresia Yemm lebih lanjut mengatakan bahwa, KNPB wilayah asmat merencanakan pembagunan sebuah kantor atau sekertariat KNPB wilayah asmat berdasarkan hassil keputusan Rapat pimpinan 28 KNPB dan 23PRD di timika 29 DESEMBER 2013 memutuskan Bahwa PRD dan KNPB membagun Kantor atau Sekertariat KNPB di setiap wilayah sama seperti Kantor Free West Papua Campaign Di luar negeri. Kemudia di tempat terpisan salah salah satu Aktivis KNPB Donatus Pombai melaporkan kepada KNPB pusat bahwa, aparat kepolisian melakukan penagkapan terhadap pengurus KNPB wilayah asmat atas nama : Rafael Simap (Jabatan Sebagai Komisariat Diplomasi dan beerapa anggota lainya saat ini masi diterogasi di polres Asmat katanya melalui pesan singkat.

Penakapan terhadap sejumlah aktivis KNPB ini terjadi pada hari ini senin 11 agustus 2014 pukul 09.30 WPB di kabupaten Asmat. Penagkapan terhadap pengurus dan anggota KNPb asmat ini dilakukan , berdasarkan perinta bupati kabupaten Asmat, memerintakan kepada polres Asmat untuk menagkap pengurus KNPB di Asmat dengan alasan bahwa tidak boleh aktifitas Papua merdeka di kabupaten asmat.

Maka Polres asmat melakukan penagkapan terhadap sejumalah aktivis KNPB asmat . penagakapan terhadap Aktivis KNPB hari ini dengan Terkait sumbagan suka rela yang dikeluarkan oleh KNPB asmat kepada masyarakat bertujuan untuk membagun sekertariat KNPB wilayah Asmat .


Kepolisian mengetahui surat sumbagan yang dikeluarkan KNPB sehingga Kapolresta perintahkan anggotanya untuk melakukan penagkapan terhadap pengurus KNPB di wilayah asmat, sama dengan kantor atau sekertariat KNPB di wilayah lain. Hal ini disampaikan oleh Ketua Parlement Rakyat Daerah (PRD) Ny. Panggresia Yemm, melalui pnsel selulernya kepada KNPB pausat pagi ini.


Lebih lanjut Donatus Pombai Mengatakan polisi sedang melakukan Introgasi Rafael Simap terkait dengan akan di bangunya sebuah kantor Fri West Papua,(sekertariat knpb Asmat) sama dengan didirikan kantor atau sekertariat KNPB di Daerah-daerah lain se tanah Papua, bahkan sama dengan Kantor Free West Papua Campaign di luar negeri. 

Donatus Pombai mengatakan Polres asmata melakukan penagkapan berdasarkan atas laporan yang disampaiakan oleh Ketua Adat (Kopakci) dan Kepalah Distri. Agats (Ursula Biakai) serta perintah Kabupaten Asmat yang disampaikan oleh Bupati asmat (Yuvensius A Biakai MBA) menyeruhkan kepada Polres kabupaten asmat untuk segra bubarkan atau Tangkap Anggota KNPB asmat. 

Namun hal itu di Bantah dengan tegas oleh Ketua KNPB Asmat Linus Desnam, Bahwa kami ini bukan kelompok Kriminal, koropsi atau jihat, sehingga datang tangkap dn siksa. Kami ini sedang memperjuangkan hak politik yang sadar dan segar sedang menuntut Hak Penentuan Nasib (Self Determination). Bagi rakyat papua termasuk masyarakat Asmat. "Saya sekali lagi sampaikan kepada pemerintah kabupaten asmat untuk hetikan perinta penagkapan terhadap Aktivis KNPB Asmat tegasnya. Dalam pesan singkat ketua KNPB asmat yang diterima oleh KNPB pusat dari asmat.
Sumber:Knpbnewsasmat
03.09 | 0 komentar

Pernyataan Benny Wenda Terkait Penangkapan Dua Jurnalis Asing di Wamena

Written By Unknown on Minggu, 10 Agustus 2014 | 18.29

Benny Wenda (http://www.3news.co.nz)
Suva,10/8(Jubi)- Nominator penerima Nobel perdamaian dan pendiri Kampanye Papua Merdeka, Benny Wenda memberikan pernyataan dukungan dan desakan kepada pemerintah Indonesia, untuk segera membebaskan dua jurnalis Prancis yang ditangkap di Papua, baru-baru ini.
Menurut Benny Wenda, dua hari lalu, Militer Indonesia menangkap dua orang Jurnalis Prancis yang mencoba memberikan informasi kepada dunia, apa yang sedang terjadi di West Papua.
Karena itu, Kami orang West Papua mau mengirim dukungan kepada Thomas Dandois, Valentine Bourrat dan keluarga mereka yang ada di Prancis,” katanya.
Dirinya mendoakan agar tidak ada kejahatan yang buruk menimpa mereka, Polisi Indonesia diminta segera melepaskan mereka dengan aman dan segera.
Kami menyampaikan terima kasih kepada mereka yang dengan berani dan menceritakan kisah kami,” katanya.
Menurutnya, sepajang 52 tahun hingga sekarang ini, Militer Indonesia berupaya menyembunyikan apa yang mereka sedang lakukan di West Papua dan berusaha menjadikan pihaknya untuk diam.
Karena itu, lanjutnya, ketika jurnalis luar negeri masuk dan meliput sangat mengangu mereka. Indonesia tidak mau dunia tahu tentang West Papua.
Tetapi dengan keteguhan hati kami dan dukungan yang sedang tumbuh di dalam diri semua orang di seluruh dunia, akhirnya, setelah 500.000 orang kami telah dibunuh, kita mendengar wujudnya nanti,” katanya.
Dirinya juga menyerukan kepada semua orang di seluruh dunia yang percaya kepada keadilan, kebebasan dan demokrasi, untuk memastikan jurnalis dan media mendukung dua jurnalis Prancis dan menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesaia segera melepaskan mereka.
Kita hidup ini pada abad ke 21 dan Indonesia masih menangkap jurnalis untuk memberikan kebenaran”tulis Benny Wenda dalam website www.freewestpapua.org
Victor Mambor, ketua Aliansi Jurnalis Indepent (AJI) Papua, berpendapat, walaupun penangkapan ini sudah masuk ke ranah politik, dalam konteks kebebasan pers, tindakan aparat keamanan menahan jurnalis asing di Wamena tidak dapat dibenarkan.
“Karena peluang wartawan asing mendapat izin meliput di Papua sangat sulit. Padahal, banyak wartawan asing bebas meliput di kota-kota lain di Indonesia,” kata Mambor kepada majalahselangkah.com, belum lama ini.
Hal senada juga dikatakan peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono. “Pertanyaannya sederhana. Bila seseorang hendak bikin film dokumenter, katakanlah, di Makassar atau di Solo, apakah dia akan ditangkap?” tuturnya dalam wawancara elektronik malam ini, Jumat (08/08/14).
Menurut Andreas , larangan itu tidak bisa diterima karena secara hukum Papua belum ditetapkan sebagai wilayah konflik.
“Papua, secara hukum, bukan wilayah konflik karena ia tak dinyatakan dengan hukum,” katanya pendiri yayasan Pantau yang bergerak pada peningkatan mutu jurnalisme di Indonesia ini.
Dia menambahkan, menurut UU Pers tahun 1999, negara boleh membatasi akses ke suatu daerah di Indonesia dengan alasan-alasan keamanan, tapi harus dinyatakan dengan undang-undang. “Apakah ada undang-undang yang menyatakan Papua sebagai daerah darurat militer? Saya kira tidak ada, sehingga secara hukum, akses wartawan asing ke Papua seharusnya sama dengan akses ke Makassar atau Solo karena di daerah lain juga ada kriminalitas. Papua, Makassar dan Solo harus dianggap kriminalitas saja bila terjadi kekerasan” katanya.
Ia lebih lanjut menjelaskan, Dewan Pers pernah menyatakan bahwa akses wartawan asing ke Papua harus diberlakukan sama dengan provinsi-provinsi lain karena tak boleh ada diskriminasi di Indonesia. Prakteknya, sejak 1963, naik dan turun, selalu ada pembatasan akses wartawan dan peneliti internasional ke Papua. (Jubi/Mawel)

18.29 | 0 komentar

TPN-WP Wilayah Lanny Jaya Nyatakan Protes Atas Penangkapan 2 Jurnalis Asing di Wamena

Erimbo Enden Wanimbo Bersama di Hutan Pirime, Lanny Jaya. (Jubi/IST)
West Papua - Penangkapan jurnalis asing Thomas Charles Tendies (40) asal Prancis dan Valentine Burrot (29) dari Australia yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia Daerah Papua, beberapa hari lalu, mendapat respon respon dari Pimpinan Tentara Pembebasan Nasional West Papua (TPN-WP) wilayah Lanny Jaya, Enden Wanimbo.
Dalam pernyataannya kepada media lokal Papua, seperti yang dimuat oleh www.tabloidjubi.com, Enden Wanimbo dengan tegas menyatakan protes terhadap tindakan kepolisian RI yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), “Kami protes karena Indonesia menangkap wartawan yang melakukan tugas jurnalistiknya. Ini satu bukti Indonesia tidak memberikan kebebasan kepada wartawan dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM). Ini berarti tidak ada demokrasi,” tegas Enden Wanimbo.
Lanjut Enden “Itu bukan ilegal. Kalau Indonesia bilang mereka ilegal, itu aturan mereka. Itu wartawan kami. Tetapi, belum sempat bertemu kami, mereka sudah ditangkap,” ujarnya.[wp]

Sumber : http://www.papuamembara.tk
18.23 | 0 komentar

Dua Jurnalis Perancis Ditangkap, Bucthar: Gubernur Papua Harus Tanggung Jawab!

Ketua PNWP (kanan) dan Gubernur Provinsi Papua (Foto: Ist)
PAPUAN, Jayapura --- Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Bucthar Tabuni meminta Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, untuk bertanggung jawab atas penangkapan dua jurnalis asal Perancis di Jayawijaya, Papua, 7 Agustus 2014 lalu, oleh Kepolisian Daerah Papua.
Menurut Bucthar, Gubernur Papua, Lukas Enembe pernah membuat pernyataan di media massa, bahwa Papua terbuka bagi jurnalis internasional, agar dapat mengabarkan Papua ke mata dunia internasional.

“Saudara Gubernur Papua yang terhormat, terkait penangkapan dua jurnalis asal Perancis, saya perlu komplain kepada anda, karena beberapa waktu lalu anda katakan akan membuka akses bagi wartawan asing bebas berkunjung ke West Papua.”

“Sekaligus anda juga memberikan jaminan keamanan kepada wartawan asing dalam proses peliputan di tanah Papua, kenapa janji itu tidak ditepati,” kata Bucthar, dalam release kepada suarapapua.com, pagi tadi.

Kenyataan yang terjadi saat ini, menurut Bucthar, bertolak belakang dengan pernyataan orang nomor satu di provinsi Papua ini.

“Bagaimana tanggung jawab anda sebagai kepala daerah terkait pernyataan anda. Kami minta anda membuktikannya kepada public, dengan menegur Kapolda Papua yang seenaknya menangkap wartawan asing tersebut,” kata Bucthar.

Bucthar juga mempertanyakan sikap Lukas Enembe yang tinggal diam melihat kekejaman militer Indonesia terhadap warga Papua, secara khusus terhadap dua wartawan asing asal Perancis ini.

“Ataukah pernyataan anda tentang jaminan keamanan bagi jurnalis asing ini sebagai sebuah jebakan, kami butuh ketegasan anda saat ini,” tegasnya.

Sebelumnya, seperti dilaporkan media ini, dua jurnalis asal Perancis ditangkap Polda Papua di Kabupaten Jayawijaya, Papua, karena diduga sedang meliput aktivitas kelompok kriminal bersenjata, Enden Wanimbo. (Baca: Jurnalis Asal Perancis “Diamankan” di Polda Papua).

Hingga berita ini diturunkan, kedua jurnalis ini masih ditahan di Markas Kepolisian Daerah Papua, di Jayapura, Papua, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. (Baca: Dua Jurnalis Perancis Yang Ditangkap di Wamena Jadi Tersangka).

OKTOVIANUS POGAU


17.38 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman