Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

O’Neill : PNG akan Bicara Soal Papua Barat di PIF

Written By Unknown on Rabu, 09 September 2015 | 15.10

Perdana Menteri PNG, Peter O'Neill berfoto bersama perwakilan CSO Pasifik usai pertemuan dengan CSO Pasifik - Jubi
Jayapura, Jubi – Isu Papua Barat terus berdengung di Pasific Islands Forum (PIF). Papua Nugini (PNG) sebagai tuan rumah, tak bisa menghindar dari isu ini. Peter O’Neill, Perdana Menteri Papua Nugini yang akan menjadi Ketua PIF berikutnya, menegaskan lagi posisi PNG dalam isu Papua.
Sebagaimana tradisi di PIF, Troika Leaders PIF yang terdiri dari ketua sebelumnya (Kepulauan Marshall), ketua saat ini (Palau) dan ketua selanjutnya (PNG) yang akan menjabat Ketua PIF selama beberapa tahun kedepan, diagendakan untuk bertemu Perwakilan Masyarakat Sipil Pasifik (CSO). Pertemuan Troika Leaders dengan CSO ini dilaksanakan Selasa (8/9/2015) pagi, usai jamuan makan pagi untuk delegasi PIF.
Menjawab pertanyaan CSO tentang isu Papua Barat yang menjadi satu dari lima isu yang diagendakan untuk para pemimpin PIF, O’Neill kembali menegaskan bahwa pemerintahnya akan berbicara soal Papua Barat dalam pertemuan para pemimpin PIF nanti.
“PNG akan Bicara Soal Papua Barat di PIF. Pemerintah PNG secara positif terlibat dengan Pemerintah Indonesia untuk masalah Papua Barat. Pasifik tidak bisa bicara tentang Papua Barat dalam isolasi. Pasifik harus bicara soal tentang Papua dengan Indonesia dalam satu meja yang sama,” ujar O’Neill.
Ia menambahkan, Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua sudah berada dalam forum yang sama, yakni Melanesian Spearhead Group (MSG). Dua pihak ini bisa secara langsung bertatap muka untuk menyelesaikan persoalan Papua. O’Neill menegaskan, ia berpegang pada asas kebudayaan Melanesia yang menghendaki masalah Papua diselesaikan di “para-para adat” Melanesia karena issue Papua Barat sudah tidak dapat disembunyikan lagi dan telah merupakan masalah regional.
O’Neill sangat berharap, hal ini bisa menjadi keputusan PIF dalam beberapa hari kedepan. Harapan O’Neill ini didukung oleh dua anggota Troika Leaders lainnya. Ketiganya juga berjanji pada perwakilan CSO, akan membawa lima isu yang diusulkan oleh Sekretariat PIF dan masyarakat sipil Pasifik dalam pertemuan para pemimpin PIF dalam beberapa hari ke depan. Kelima isu tersebut adalah perikanan di Pasifik, perubahan iklim, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)di Papua Barat, kanker serviks dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.
Apa yang disampaikan oleh O’Neill ini tak berbeda jauh dengan sikap PNG dan Fiji dalam pertemuan pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) bulan Juni lalu di Honiara. Saat itu, dua negara ini berpandangan masalah Papua Barat harus diselesaikan dengan melibatkan Indonesia. Perdana Menteri Fiji, Veroqe Bainimarama jelas menyebutkan United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yang diterima sebagai observer di MSG merupakan badan yang signifikan mewakili pandangan orang-orang Papua Barat di luar Papua. Ia juga percaya bahwa ULMWP memiliki pandangan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk rakyat Melanesia di Papua Barat.
Keputusan MSG menerima ULMWP sebagai observer, kata Bainimarama adalah untuk kepentingan semua orang.
“ULMWP harus dibawa ke dalam proses perubahan bangsa Melanesia di Papua. Ini kesempatan untuk ULMWP. ULMWP harus menggunakan hak istimewa ini untuk bekerja sama dengan MSG membawa perubahan untuk rakyat Papua Barat,” kata Bainimarama.
Saat itu, Bainimarama juga mengatakan semua pihak dalam MSG harus melangkah menuju era baru, kerjasama semua pihak untuk mencapai hasil terbaik bagi bangsa Papua Barat. Indonesia dan Papua yang diwakili oleh ULMWP, kata Bainimarama, bisa berdiskusi tentang rakyat Papua Barat di rumah yang sama, MSG.
Setelah pertemuan dengan CSO ini, O’Neill menyampaikan kepada wartawan bahwa United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) telah mendaftarkan aplikasi keanggotaan di PIF. Namun O’Neill berpandangan, aplikasi tersebut akan ditolak oleh para pemimpin PIF.
“Itu butuh waktu. Saya pikir para pemimpin belum akan menerima aplikasi itu,” ujar O’Neill.
Kenn Mondiai, Ketua PNG Union for West Papua (PNGUWP) yang menghadiri pertemuan CSO dengan Troika Leaders PIF mengatakan CSO di Pasifik menyampaikan kepada Troika Leaders bahwa isu penentuan nasib sendiri termasuk dengan Papua Barat telah diangkat di berbagai forum pemimpin Pasifik selama bertahun-tahun. Tapi sangat sedikit yang dilakukan untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang berkembang dan terus membanjiri media.
“Sekarang waktunya. Dan pemimpin Pasifik saat ini harus bertindak untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan damai. PNG memiliki peran penting untuk bermain di forum ini. Dan sebagai tuan rumah serta ketua PIF untuk periode berikut, kami menyerukan Perdana Menteri Peter O’Neill dan rekan-rekan Pasifik untuk bertindak secara moral dan sadar ketika berunding tentang Papua Barat,” kata Mondiai. (Victor Mambor)

Sumber : http://tabloidjubi.com

15.10 | 0 komentar

Sekian Lama Bungkam untuk Papua, Masyarakat Pasifik Minta Maaf

Written By Unknown on Selasa, 08 September 2015 | 02.30

Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) - Jubi
Jayapura, Jubi – Pada tahun 1965, sedianya pertemuan konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam dilakukan di Hollandia (sekarang Jayapura). Saksi bisunya masih ada. Pemerintah Belanda membangun Gedung DPRD Papua untuk pelaksanaan Konferensi Pasifik Selatan ini. Namun pelaksanaan Konferensi SPC ini tidak terwujud. Papua Barat saat itu berada dalam status sengketa dan menunggu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejak saat itulah, hubungan antara Papua dan negara-negara Pasifik seakan putus.
“Sejak tahun 70 an, hubungan Papua dengan Pasifik putus. Sejak itulah kami tidak tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Padahal, Papua Barat sebelumnya adalah bagian dari Komisi Pasifik Selatan,” kata Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) kepada Jubi, Senin (7/9/2015).
Emele menambahkan, sejak media sosial hadir, masyarakat sipil di Pasifik mendapatkan akses untuk tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Media sosial, memberikan informasi tentang kekerasan di Papua Barat, selain pembangunan yang terjadi selama hubungan antara Papua Barat dengan Pasifik terputus.
“Media mainstream dan media sosial, memungkinkan kami mendapatkan informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM, sehingga kami bisa mengkonfirmasinya. Karena itulah kami bisa mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” kata Emele.
Sejak konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam gagal dilakukan di Jayapura, Papua Barat memang tak memiliki akses dengan Pasifik. Hubungan dengan Pasifik dalam segala lini putus dan beralih ke Jakarta. Demikian juga sebaliknya, negara-negara Pasifik seakan tak memiliki sejarah dengan Papua Barat. Sama halnya dengan masyarakat sipil di Pasifik. Segala peristiwa yang terjadi di Papua Barat, luput dari perhatian mereka. Kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah, hingga “pembunuhan” budaya orang asli Papua, melintas begitu saja di atas Pasifik. Mereka bungkam.
Namun lima tahun terakhir, solidaritas Pasifik untuk Papua muncul. Seperti dikatakan Emele, solidaritas ini muncul seiring eksisnya media sosial di Pasifik sebagaimana di belahan dunia lain.
“Pasifik tidak bisa diam lagi. Terutama masyarakat sipilnya. Masyarakat sipil di pasifik berkewajiban membuat pemerintah mereka peduli pada apa yang terjadi di Papua Barat,” kata Emele.
Masyarakat Sipil di Pasifik, lanjut Emele, sepakat untuk mendesak pemimpin negara-negara Pasifik yang akan bertemu minggu ini dalam Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby untuk membicarakan masalah Papua Barat, selain perubahan iklim.
“Dua hal yang kami dorong untuk pemimpin-pemimpin di Pasifik, perubahan iklim dan dugaan pelanggran HAM di Papua Barat,” ujar Emele.
Perempuan Fiji ini juga mengatakan masyarakat sipil di Pasifik meminta maaf karena telah bungkam sekian lama atas penderitaan saudara-saudara mereka di Papua Barat.
“Dalam pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations di Port Moresby 1-3 September lalu, kami telah menyampaikan pada publik permintaan maaf kepada rakyat Papua Barat atas ketidakpedulian kami dan sekian lamanya kami bungkam, tidak bereaksi atas penderitaan saudara-saudara kami di Papua Barat,” jelas Emele.
Ia menambahkan, dua rekomendasi dari pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations ini akan disampaikan dalam Civil Society Organisation Regional Forum di Port Moresby, yang dimulai hari Senin (7/9/2015) .
Perempuan Pemimpin Masyarakat Sipil Pasifik lainnya, Pefi Kingi QSM yang mewakili Pacificwin-Vagahau Niue Trust, mengatakan masyarakat sipil di Pasifik sepakat untuk mendesak negara-negara Pasifik yang hadir dalam PIF untuk mengirimkan misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari delegasi PIF, masyarakat sipil dan pemimpin gereja. Pertemuan masyarakat sipil se Pasifik ini juga sepakat untuk mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB sebagai langkah penting untuk kemerdekaan Papua Barat.
“Kami kembali mengingatkan kepada para pemimpin negara-negara Pasifik, Pasifik belum bebas sampai Papua Barat merdeka,” ujar perempuan Maori ini.
Terpisah, Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor mengatakan suara masyarakat sipil menjadi prioritas utama dari sekretariat Forum Kepulauan Pasifik (PIFs). Suara masyarakat sipil, kata Meg taylor, sangat penting dalam mengembangkan kebijakan daerah, terutama informasi untuk para pemimpin negara-negara anggota PIF.
“Saya seorang pendukung utama masyarakat sipil, dan saya percaya bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat sangat penting untuk wilayah kita,” ujar Meg Taylor saat membuka forum regional Organisai Masyarakat Sipil Pasifik di Port Moresby, Senin (7/9/2015).
Meg Taylor yakin, forum ini sangat penting karena menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan tentang beberapa isu kunci yang akan disampaikan pada forum pemimpin Kepulauan Pasifik. (Victor Mambor)

Sumber : www.tabloidjubi.com

02.30 | 0 komentar

Pembukaan PIF, KNPB Turun Jalan Teriak Merdeka

Aksi demo damai yang dilakukan KNPB, GempaR
dan simpatisannya dalam pernyataan sikapnya yang
mendukung PIF di Port Moresby, Papua Nugini - Jubi/mawel
Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB)  memobilisasi aksi massa  turun ke jalan mendukung pembukaan pertemuan pemimpin negara-negara Kepulauan Pasific di Moresby pada 7 -11 September mendatang.
Sejak pagi di depan Kantor Pos Abepura aparat kepolisian sudah berjaga-jaga di depan Ruko tempat yang biasa dipakai warga  untuk berdemo dan berorasi. Walau demikian KNPB Pusat di Jayapura tetap melakukan  aksi di depan Gapura Universitas Cenderawasih Jayapura, di Waena, kota Jayapura, Papua.
Massa aksi dari Sentani , Abepura dan Jayapura berkumpul dan melakukan orasi secara bergantian dari pukul 8:30 hingga 14:15.
“Papua….”teriak setiap aktivis yang menyampaikan orasi. Teriakan itu kemudian di sambut masa aksi dengan meneriakan “Merdeka” sambil mengancungkan kepalan tangan kiri sebagai simbol perlawanan damai.
Ketua 1 KNPB Pusat, Agust Kossay yang memimpin massa aksi dari Sentani tiba di lokasi pukul 12: 00 mengatakan kini saat Papua bebas dari penjajahan. Papua sudah cukup berada dalam penjajahan negara Kesatuan Republik Indonsia selama 53 tahun.
“Kami ingin bebas. Kami ingin bebas. Sudah saat Papua bebas dari NKRI,”teriak Kossay saat orasi politik di jalan depan gapura UNCEN.
Katanya, negara-negara Melanesia harus berbicara nasib dan penderitaan orang Papua. Negara-negara Melanesia tidak boleh tinggal diam karena pembebasan orang West Papua juga bagian dari pembebasan semua orang Melanesia di Pacific dari ancaman global.
“Pembabatan hutan, pengerukan sumber daya alam, penanaman kelapa sawit ini turut mendukung pemanasan global. Solusinya bicara negara-negara Pasific menerima West Papua menjadi pengamat di PIF supaya West Papua melalui ULMWP turut mencari solusi masalah West Papua dan Pasific seluruhnya,”katanya.
Bazoka Logo, Juru Bicara KNPB pusat mengatakan Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi membatasi orang Papua membicarakan hak politik dengan stigma yang mengada-ada. Stigma Pencuri,Perampok, OTK, Makar, Separatis dan kriminal sudah tidak berlaku lagi.,
“Sejak status West Papua sebagai observer MSG pada 26 Juni di Honiara, stigma itu sudah habis dan tidak ada. Perjuangan hari ini damai dan bermartabat yang kita lakukan,”tegas Logo.
Kata Logo, kalau perjuangan orang Papua tidak diakui, masalah Papua tidak mungkin menjadi pengamat di MSG dan menjadi agenda di PIF. Masalah West Papua menjadi agenda PIF artinya suatu pengakuan.

“Kita harus tahu itu. Masalah kita tidak lagi pembicaraan di luar. Masalah kita menjadi masalah dan pembicaraan di dalam negara,”tegasnya. (Mawel Benny)

Sumber : http://tabloidjubi.com
01.01 | 0 komentar

LSM Pasifik Desak PIF Kirim Misi Ke Papua Barat


Jayapura, Jubi – Kelompok masyarakat sipil Pasifik mendesak Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) mengirim misi pencari fakta ke Papua Barat, Indonesia, untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) baru-baru ini meminta agar misi pencari fakta dari Forum utama negara-negara kepulauan di Pasifik dikirim ke (tanah) Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Radio New Zealand melaporkan, perwakila masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dari Pasifik telah bertemu di Port Moresby –ibukota PNG, sebelum forum KTT Pemimpin dari negara-negara Pasifik bertemu pekan depan.
Emele Duituturaga dari Asosiasi LSM Kepulauan Pasifik, atau PIANGO, mengatakan ada dua isu utama dari kelompok tersebut, yakni mereka menginginkan agar para pemimpin dalam Forum itu mengatasi masalah perubahan iklim dan Papua Barat.
Duituturaga mengatakan kelompok itu menginginkan perjanjian mengikat internasional tentang pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, dia juga mengatakan ini waktunya untuk melihat masalah Papua Barat.
“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat atas kekejaman  pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kita desak misi pencari fakta ke dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini cukup mendesak,” kata Emele Duituturaga, mengutip Radio New Zealand, Jumat (4/9/2015).
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat baru-baru ini diberikan status pengamat di organisasi sub-regional dikawasan Pasifik, Melanesia Spearhead Group (MSG).

Sementara itu, forum tandingan yang didirikan Frank Bainimarana (Fiji), Forum Pembangunan Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Development Forum/PIDF) yang telah berlangsung di Fiji mengangkat isu perubahan iklim menjadi agenda utama yang akan dibahas dalam pembicaraan tentang iklim skala internasional di Paris, November nanti. (Yuliana Lantipo)

Sumber : http://tabloidjubi.com
00.53 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman